
Kehidupan malam termasuk seks bebas tak hanya di kota besar, namun juga terjadi secara agresif di daerah. Bahkan, hampir setiap malam, lokasi-lokasi tertentu yang menjadi titik wisata lendir selalu padat oleh pengunjung.
Subang adalah salah satu kota yang rentan terhadap cap ‘pelacuran’. Bukan rahasia jika dunia prostitusi begitu lengket di beberapa daerah Subang. Harumnya pun sudah menyebar ke kota-kota lain.
Menelusuri kawasan prostitusi terselubung di Subang bakal membuat mata terbelalak takjub. Betapa tidak, 22 kecamatan yang ada di kota nanas ini terindikasi memilikinya. Beberapa di antaranya di kecamatan Pagaden, Cipunegara, Cimacan dan Compreng. Luar biasanya, di Pagaden dan Cipunegara, lokasi prostitusi terselubung ini justru adalah rumah-rumah penduduk.
Seperti pedesaaan pada umumnya, kawasan prostitusi tak bakal tercium. Namun, dari para tukang ojek yang mangkal, barulah terungkap bahwa rumah-rumah penduduk itulah arena prostitusinya. Biasanya, pengojek mengantarkan para pendatang yang membutuhkan jasa wanita penghibur, langsung kerumah yang bersangkutan.
Wangi aroma ‘pelacuran’ rumahan di Subang ternyata sudah disadari oleh warganya sendiri. Namun, praktek kotor itu seolah sudah menjadi budaya dan kebiasaan. Gilanya lagi, aksi penjualan anak perempuan dibawah 20 tahun pun kerap terjadi dengan sepengetahuan keluarga, termasuk orang tua.
Mengencani para wanita pun tak terlalu sulit. Pasalnya, warga umumnya tahu mana pendatang yang membutuhkan kesenangan sesaat itu. Di desa Saradan, Pagaden, Subang, terdapat beberapa rumah warga yang berfungsi ganda sebagai tempat prostitusi terselubung. Wanita penghibur yang disediakan, tak lain adalah tetangga, saudara atau bahkan anak mereka sendiri.
Pada umumnya, perempuan muda didesa ini enggan untuk dibawa berkencan diluar rumah. Mereka beralasan, khawatir terkena razia dan merasa tidak nyaman dengan tempat-tempat asing. Tidak seperti PSK pada umumnya, perempuan muda yang menjajakan diri didesa ini tidak terlalu mematok waktu ketika diajak berkencan. Mereka juga tidak keberatan ditanyai mengenai kehidupan pribadinya.
Warga tampaknya tidak ambil pusing dengan praktek prostitusi yang berlangsung diwilayah tempat tinggalnya. Bahkan, kesan yang tertangkap justru mereka bangga didatangi oleh pendatang yang berasal dari kota, khususnya kota Jakarta. Kendati harus membayar minuman yang disuguhkan, para pendatang mendapat perlakuan yang sangat ramah, layaknya tamu istimewa.
Penindakan praktek prostitusi yang berpraktek dirumah, sampai saat ini belum maksimal. Aparat setempat baru menindak sebatas teguran belaka. Pasalnya, aksi yang sepertinya sudah mengakar tersebut, sulit benar-benar diberantas tanpa peran serta warga desa itu sendiri.
Sejauh ini, praktek prostitusi yang berlangsung di daerah ini tampak berlangsung lancar. Belum ada tindakan tegas, berupa larangan atau razia seperti yang terjadi di hotel-hotel atau tempat prostitusi terselubung lain.
Kebanyakan, warga yang mempraktekan aksi prostitusi terselubung, sebetulnya tidak benar-benar terdesak oleh faktor ekonomi. Mereka rata-rata saling beradu gengsi dengan para tetangga yang sama-sama punya usaha terlarang itu. Gengsi seolah terangkat ketika kedatangan tamu yang memesan perempuan muda dari mereka.
Warga sendiri tidak tahu pasti sejak kapan praktek prostitusi terselubung di kawasan ini berlangsung. Menurut warga setempat, I’in, kampung ini marak menjadi tempat prostitusi terselubung sejak tahun 1970-an dan berlangsung hingga sekarang.
Pendatang yang biasa memesan pekerja seks di kampung ini pun mengaku merasa aman ketika melaksanakan aksi bejatnya itu. Tidak terbersit kekhawatiran akan adanya razia yang dilakukan aparat keamanan.
Ajang prostitusi terselubung rupanya sudah sangat mengkhawatirkan. Jika dilakukan di tengah-tengah pemukiman warga seperti didesa Saradan, Kecamatan Pagaden Subang, Jawa Barat ini, tentu sulit untuk diberantas. Pasalnya, sulit untuk membedakan mana mempraktekan kegiatan ilegal dan mana yang tidak. Dalam kasus seperti ini, selain adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum, peran serta dan kesadaran masyarakat sendiri, tentu sangat diharapkan. Sehingga, aksi ilegal itu tidak terus berlanjut. (*)