Jumat, 12 Maret 2010


Alunan Sekaten 1 Syawal di Kasepuhan

ALUNAN gending gamelan yang ditabuh para nagaya terdengar apik di Keraton Kasepuhan Cirebon. Ritme lagu-lagu buhun seolah membawa siapa pun yang mendengarkan terbawa ke masa silam. Masa di mana para waliyullah berjuang mendakwahkan Islam.

Iringan gamelan sekaten yang dibawa sembilan nayaga mulai terdengar jelas saat Sultan Kasepuhan, Sultan Maulana Pakuningrat keluar dari Masjid Sang Cipta Rasa seusai melaksanakan salat id. Dari jarak sekitar 100 meter, sang Sultan pun kembali ke istananya. Gending-gending buhun seperti Kodok Ngorek, Sekatenan dan Bango Butak pun masih diperdengarkan sembari mengiringi warga Cirebon bersilaturahim, sungkem dengan sang Sultan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang setia mendengarkan irama dari gamelan sekaten yang dimainkan dari bangunan Siti Inggil.

Azan zuhur pun akhirnya berkumandang, selesailah para nayaga melaksanakan tugas mereka. Seperangkat gamelan kuno yang sejak subuh diangkut dari museum pun dikembalikan lagi ke tempat asalnya.

 ”Ini sudah tradisi,” tutur Pangeran Raja Adipati (PRA) Arif Natadiningrat. gamelan sekaten hanya diperdengarkan dua kali dalam setahun, yaitu usai salat id pada Idul Fitri dan Idul Adha. Gamelan sekaten merupakan seperangkat gamelan kuno warisan Raden Pati Unus, Raja Islam Demak II. Gamelan yang diwariskan kepada Keraton Kasepuhan sekitar 1429 M itu sebelumnya digunakan sebagai sarana dakwah Islam yang dilakukan sejak Raden Patah memangku jabatan sebagai Raja Islam Demak pada awal abad XV.

Kemudian Gamelan sekaten ini diwariskan kepada Nyi Mas Ratu Mulung Ayu, puteri Syech Sunan Gunung Jati yang merupakan menantu dari Raden Pati Unus. Di masa Sultan memimpin pemerintahan di Keraton Kasepuhan, gamelan sekaten sering dipakai untuk mengiringi hiburan wayang kulit. Namun, setelah itu gamelan sekaten hanya disimpan di museum dan akan dimainkan setahun dua kali usai salat id sesuai dengan wasiat dari Raden Pati Unus.

Kesembilan alat musik gamelan kuno berlaraskan madenda itu terbuat dari bahan logam perunggu. Terdiri dari dua rangkaian bonang sebanyak 14 buah, beduk, kendang, kebluk, gong, dua buah saron dan serangkaian jengglong. Gamelan kuno ini dimainkan sembilan orang nayaga atau penabuh gamelan yang secara rutin berlatih sebulan sekali di museum. “Tidak hanya nayaga, tapi keluarga keraton pun diwajibkan untuk berlatih gamelan untuk mengantisipasi jika ada di antara para nayaga yang meninggal dunia.

Tiga buah gending kuno yang sering dimainkan para nayaga memiliki arti masing-masing. Gending Kodok Ngorek, misalnya, dilantunkan untuk memanggil hujan, gending sekatenan mengiringi masyarakat masuk memeluk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat dan gending Bango Butak sebagai gending penghibur bagi masyarakat yang telah masuk Islam. Karena perawatan cukup apik, semua jenis alat musik tabuh sekaten yang sudah berusia lebih dari 600 tahun itu masih nampak bagus dan utuh. Bahkan termasuk tempat gamelan yang terbuat dari kayu jati. Karenanya, suaranya pun masih terdengar nyaring dan empuk sehingga tanpa dibantu alat pengeras pun suaranya bisa didengar dari kejauhan.

Selaku putra mahkota, PRA Arif Natadingrat mengaku bangga dengan tradisi yang hingga kini masih terpelihara dengan baik. “Bahkan tidak hanya keluarga keraton yang menikmatinya, warga Cirebon lainnya pun masih mendengarkan dengan seksama gending-gending lawas yang dimainkan dari gamelan sekaten,” katanya. Bahkan banyak sekali di antara warga Cirebon yang sengaja datang ke keraton hanya untuk mendengarkan gending-gending sakral yang hanya dimainkan dua kali dalam setahun itu.

Karena itu, seluruh keluarga keraton Kasepuhan akan selalu berusaha untuk menjaga barang pusaka peninggalan leluhur. Termasuk melestarikan tradisinya. Karena jika tidak dijaga, jati diri Cirebon akan hilang.(M-4)

Oleh, Nurul Hidayah

Kesuwun kanggo http://mediaindonesia.com sing wis tak jukut tulisane…

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 30, 2009 AT 10:33 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Pasukan Kancil Merah

Sejarawan Cicero mengatakan “Historia MagistraVitae’ yang artinya sejarah adalah guru kehidupan.

Salah satu peristiwa sejarah yang terjadi masayarakat Cirebon pernah ditulis oleh Saudara Maharyono, yang diterbitkankan oleh penerbit PT. Grasindo pada tahun 2003. Sampai saat ini buku tersebut merupakan satu-satunya buku yang ditulis secara khusus mengupas tentang perjuangan yang dilakukan masyarakat Kota Cirebon dan sekitarnya pada masa perang kemerdekaaan (1945 – 1949).

Buku itu selain menceritakan tentang bagaimana kondisi yang dialami masyarakat Cirebon pada masa kemerdekaan, juga menceritakan secara khusus kisah heroik Pasukan Kancil Merah dan peritiwa Palagan Mandala. Pasukan Kancil Merah pada saat itu memang keberadaanya sangat dikenal oleh masyarakat Cirebon dan sekitarnya.

Pasukan Kancil Merah adalah nama samaran Pasukan Siliwangi yang berkedudukan di wilayah Cirebon dengan komandannya yang bernama Letnan Abdul Kadir. Pasukan Kancil Merah, merupakan salah satu pasukan gerilya yang memiliki persenjataan yang lengkap dengan jumlah personil yang cukup banyak serta dikenal dengan kedisiplinan dan keberaniannya.

 Tercatat dalam buku yang berjudul “Semuanya Untuk Cirebon” (Maharyono : 2003), Pasukan Kancil Merah mengalami beberapa kali kontak senjata dengan Belanda serta melakukan tindakan sabotese untuk memperlambat gerak pasukan Belanda.

Beberapa anggota Pasukan Kancil Merah yang gugur dalam medan pertempuran, diantarnya kini diabadikan menjadi nama jalan di Kota Cirebon, seperti jalan Kusnan, Jalan Saleh dan Jalan Suratno. Sedangkan Palagan Mandala merupakan peristiwa yang berawal ketika meletusnya Agresi Belanda I sebagai bentuk pengingkaran Belanda terhadap kesepakatan hasil perjanjian Linggarjati.

Belanda melakukan agresinya yang pertama pada tanggal 21 Juli 1947 dengan melakukan penyerangan diberbagai daerah termasuk wialayah Cirebon.

Tepat pada pukul 09.00, bertepatan dengan Bulan Puasa, serangan udara dilancarkan oleh Belanda, sebagai tanda dimulainya agresi militer Belanda ke Cirebon. Padahal saat itu Belanda masih terikat oleh perjanjian Linggarjati. Kota Cirebon diserang dari udara dengan pesawat pemburu dan pembom yang melepaskan tembakan senapan mesin, roket dan bom yang terdiri dari jenis seberat sepuluh hingga seratus kilogram.

Pada tanggal 22 Juli Belanda terus melakukan penyerangan dari udara dan laut. Beberapa daerah yang dijadikan sasaran tembak diantaranya adalah jembatan kereta api Krian, Stasiun Kejaksan, Kutagara, Prujakan dan Pagongan. Akibat insiden tersebut puluhan orang tewas termasuk anak-anak, kaum perempuan serta masyarakat sipil lainnya. Pasukan Siliwangi yang berkedudukan di Cirebon waktu itu tidak dapat menahan serangan Belanda yang pesenjataannya lebih lengkap dan modern. Atas segala pertimbangan dan untuk menghindarkan dari kehancuran yang lebih fatal Pasukan Siliwangi menjauh ke Desa Mandala untuk mengatur siasat gerilya.

Desa Mandala adalah salah satu desa yang berada di bawah kaki Gunung Ciremai, secara administratif berada di wilayah Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Selanjutnya pertempuran terus terjadi antara pasukan TNI dibawah pimpinan Letnan Budhi Hardjo dengan pasukan Belanda sampai dengan tercapainya persetujuan penghentian tembak menembak pada bulan Agustus 1949, yang kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Selama pertempuran yang terjadi di Desa Mandala puluhan pejuang gugur termasuk diantaranya Kapten Hendrik bersama putranya yang baru berusia 10 tahun.

Kini sebagian besar para pahlawan dalam pertempuran Palagan Mandala dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kesenden Kota Cirebon. Masyarakat Desa Mandala pun banyak yang menderita kerugian, baik materi maupun immateri, semuanya dilakukan demi kecintaan terhadap tanah air dan bangsa serta adanya dorongan kuat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Mungkin masih banyak kisah perjuangan masyarakat Cirebon pada khususnya dan masyarakat Jawa Barat pada umumnya yang sarat dengan nilai –nilai heroik, namun belum tergali. Semua itu merupakan potensi khasanah sejarah bangsa yang tiada ternilai harganya. Sebagai bagian dari generasi muda yang hidup di masa kemerdekaan, tentu akan merasa sangat bangga jika membaca atau mengetahui kisah heroik yang pernah dilakukan oleh para generasi sebelumnya. Sehingga akan timbul rasa kecintaan terhadap bangsa dan tanah air, sekaligus akan tumbuh juga rasa tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan ini dengan sesuatu yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan negara. Seperti apa yang telah diberikan oleh para pahlawan bangsa terhadap negeri ini.

INDRA YUSUF, Praktisi Pendidikan, tinggal di Kota Cirebon.

Kesuwun kanggo http://www.kabarindonesia.com sing wis tak jukut tulisane…Kesuwun Kang!

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 29, 2009 AT 9:53 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Makna tanaman di Kraton Kasepuhan

Menurut keterangan Bp. Amang Darta dari Unit Pengelola Keraton Kasepuhan (UPKK) beberapa tanaman yang terdapat pada bangunan-bangunan Kerajaan Cirebon mengandung makna tertentu. Pohon beringin sebagai lambang kekuasaan dan pengayoman; tanjung merupakan lambang nunjung atau menyanjung yang berarti derajat tinggi (bertahta) atau dapat pula diartikan meninggikan derajat (menyanjung); kepel berarti menggenggam; mangga dalam bahasa Jawa disebut pelem merupakan lambang kemauan (gelem);dewadaru berarti cahaya dewa; sedangkan sawo di dalam buahnya terdapat biji yang dalam budaya Jawa dinamakan kecik, sawo merupakan lambang kebaikan (becik).

Rangkaian pohon-pohon yang ada bila dihubungkan dengan keletakannya mengandung arti yang lebih mendalam. Hal ini terlihat pada Keraton Kasepuhan sebagai kelanjutan Keraton Pakungwati pada masa awal pendirian Negari Cirebon ditujukan sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa khususnya Jawa Barat.

Keraton sebagai pusat pemerintahan dipercaya juga sebagai pusat kosmis. Berkaitan dengan simbol pepohonan yang ditanam di keraton, makna yang terkandung berhubungan erat dengan ajaran Islam. Sebelum memasuki komplek keraton, pada halaman alun-alun terdapat pohon beringin yang mengandung pesan agar penguasa selalu mengayomi rakyat. Selanjutnya pada halaman pertama terdapat pohon sawo dan tanjung. Pesan yang disampaikan, penguasa sebagai pengayom rakyat harus selalu berbuat baik (becik)dan selalu ingat kepada Allah (menyanjung). Seluruh syariat agama harus digenggam dengan kuat (kepel). Pesan-pesan simbolis ini berada pada halaman pertama memasuki keraton atau sebagai tingkatan pertama.

Selanjutnya pesan itu diteruskan pada jenjang yang lebih tinggi/dalam sebagaimana pesan pada halaman kedua. Ajaran atau syariat agama harus ditingkatkan tidak hanya dimengerti tetapi harus mau (gelem) dijalankan agar disanjung untuk kebaikan. Sebagai tanda kesempurnaan derajat, manusia akan mendapat sinar kedewaan (dewadaru).

Demikianlah, ternyata pohon yang ada di lingkungan keraton tidak sekedar ditanam tanpa arti, namun mengandung makna filsafat yang tinggi. Makna tersebut terutama ditujukan kepada penguasa agar selalu mengayomi rakyatnya. Sebagai penguasa yang berdasarkan ajaran Islam, penguasa harus dapat dijadikan teladan atau contoh bagi rakyat. Sesuai dengan ajaran Islam, penguasa hendaknya dapat menjadi uswatun khasanah.

Dijukut sing http://www.pelita.or.id kesuwun Kang…

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 28, 2009 AT 3:28 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Macan Ali

 

benderacirebon

“Macan Ali” adalah Bendera sekaligus lambang Kebesaran Keraton Cirebon, bentuknya berupa kaligrafi arab yang mengikuti bentuk piktogram stilasi dari “Macan Duduk”. Sering ditemukan di Lukisan Kaca seniman Cirebon, tulisan arabnya berbunyi: “thoyibah laa ila ha illallah”.

Hubungannya dengan Sayidina Ali, berdasarkan cerita ringkasnya karena Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) keturunan ke 17 dari Sayidina Ali, ke 18 dari Rasulullah, karena di depan namanya memakai Sayid Syarif, nasab dari Husein.

Di Keraton Pakungwati Cirebon (keraton awal) pernah dibentuk sepasukan khusus berjumlah 12 orang yang dapat berubah wujud menjadi macan. Keratonmemberikan “jubah & Bandrang (Kepala Tombak)” sebagai tanda. Kalau mau berubah dengan memakai jubah itu, pasukan ini tidak muncul sembarangan, hanya kalau Cirebon terancam bahaya saja.

Tandanya Cirebon bahaya adalah apabila “Kantil” atau Kurung Batang di Astana Gn.Jati yang berlapis emas raib…terbang… atau bergoncang. Pasukan ini berlanjut diwariskan ke ahli warisnya sampai sekarang, konon pemunculannya hanya di bulan Mulud dan di tempat keramat yang ditunjuk. Sekarang sudah berkurang jumlahnya mungkin cuman 5 saja.

Menurut cerita lain kalau bulan Mulud suka muncul di Petilasan Tapak Semar (arah barat hutan Astana Gunung Jati). Waktu ribut2 tahta di Keraton Kanoman dulu, muncul di sumur tujuh Jalatunda, menurut orang yang melihat bentuknya orang bergamis, berjalan agak merangkak lama kelamaan berkelebat jadi macan menghilang.
Tiap anggota punya nama dan pangkat, diambil dari nama daerah masing2…misalnya “Ki Gedheng…..”

 

Cerita yang lain, perihal pelacakan Pasukan Khusus Macan pengawal Kraton Cirebon, bernama Singha Barwang Djalalullah (kalau tidak salah ucap), yang konon kabarnya cuma tersisa 5 orang. Dari seorang kenalan banyak didapat informasi perihal pelacakan ini, termasuk ke sumber informasi yang secara moril masih berstatus sebagai seorang Adipati Kraton. Awalnya sumber yang tinggal di daerah utara Cirebon tersebut enggan mengutarakan, namun setelah mengenal lebih dalam mengenai pribadi tentang diri dan keluarga barulah beliau mau mengutarakan lebih lanjut.


Tidak bisa diperkirakan berapa jumlah tepatnya pasukan macan ini yang tersisa, bisa 3, 5 atau 7 orang. Yang pasti di bawah dari 10 orang. Berkurangnya pasukan ini dikarenakan beberapa hal, pertama adalah tidak mempunyai keturunan karena pasukan ini bersifat turun temurun. Kedua yang bersangkutan meninggal dengan membawa pakaian simbol pasukan macan yang disebut “Kantong Macan”. Pernah satu kejadian seekor macan di kepung dan diburu masyarakat kampung yang tidak mengerti, macan yang diburu kabur menghindar, hingga terperosok di sebuah sumur tua. sewaktu dilihat ke sumur ternyata bukan seekor macan, melainkan seorang manusia yang terkapar. Pada saat hendak diangkat orang tersebut sirna.


Pakaian yang bernama Kantong Macan ini sebesar ibu jari kaki, cara memakainya dengan memasukan kedua ibu jari tangan. Anehnya kantong macan tadi terus mengembang seperti elastis hingga masuk kedalam tubuh seperti pakaian. Ritual pemakaian harus hening dan sedikit penerangan. Tapi sayang tidak bisa didokumentasikan. Kekuatan spiritual dari pakaian ini tergantung si empunya, bisa 50:50 (antara manusia:siluman) atau 20:80 dan sebaliknya. Semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi kodrati manusianya.

Sejarah adanya pasukan ini bermula ketika Susuhunan Gunung Jati sebagai pendiri kratonan Cirebon, diberikan hadiah dari kakeknya yang penguasa Pajajaran (Prabu Siliwangi). Hadiah itu berupa sepasukan khusus Pajajaran yang terdiri atas 12 orang yang dapat beralih rupa sebagai macan. Sebagaimana pasukan pengamanan, metoda penggunaan Ring 1, 2 dst juga berlaku. Masing-masing ring terdiri atas 4 orang yang meliputi arah mata angin dengan titik pusatnya Kraton Pakungwati. Semakin dekat dengan pusat, semakin tinggi ilmunya. Istilah yang digunakan adalah KW (tidak tau apa maksudnya). Ada KW 1, KW 2 dst. Kabarnya satu KW pernah diberikan sultan Cirebon kepada Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah karena memang masih ada hubungan trah.


Dari semua pembicaraan, ternyata yang paling mengesankan adalah tentang beladiri yang dipakai Pasukan Khusus itu, yaitu Gerak Gulung Pajajaran. Ketika dikonfirmasi mengenai kesamaannya dengan Gerak Gulung Budi Daya yang di Bogor, beliau mengatakan memang masih satu rumpun.

dijukut sing Kaskus… keswuwun, Kang!

DITERBITKAN DI:  ON AT 2:51 AM KOMENTAR (1) 

Awal abad ke-16

Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.

Dicuplik saking http://halimihusnan.multiply.com

DITERBITKAN DI:  ON AT 2:33 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Desa Muara Jati

Cirebon bermula dari sebuah desa nelayan kecil di pantai utara Jawa Barat pada Abad ke-14. Desa itu bernama Muara Jati, terletak di lereng bukit Amparan Jati. Desa kecil itu berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh, yang beribukota di Rajagaluh. Kerajaan menempatkan seorang pengurus pelabuhan, atau yang dikenal dengan jabatan Syahbandar, bernama Ki Gedeng Tapa.

Sebagai manajer sekaligus administrator yang ulung, Ki Gedeng Tapa mampu menjadikan Pelabuhan Muara Jati semakin besar dan ramai. Banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari luar negeri, terutama saudagar-saudagar dari Cina. Hingga akhirnya Muara Jati menjadi pelabuhan utama Kerajaan Galuh. Berbagi komoditi pun diperdagangkan, mulai dari beras, rempah-rempah, emas, tekstil, alat-alat rumah tangga dan barang-barang pecah-belah, hingga garam dan terasi turut meramaikan perdagangan. Tak salah waktu itu, cikal-bakal Cirebon telah menjadi pusat perdagangan dunia, setidaknya Asia Tenggara.

DITERBITKAN DI:  ON AT 1:52 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Wukir Sapta Rengga

Makam Sunan Gunung Jati, terletak di Desa Astana, Kec. Gunung Jati, Kab. Cirebon, hanya sekitar kurang lebih tiga km sebelah utara Kota Cirebon. Kawasan Makam Sunan Gunung Jati memiliki lahan seluas lima hektare. Selain tempat utama untuk peziarah, kawasan itu juga dilengkapi tempat pedagang kaki lima, alun-alun, lapangan parkir, dan fasilitas umum lain


Kawasan Makam Sunan Gunung Jati terdiri dari dua kompleks makam. Yang utama ialah Kompleks Makam Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung terdiri dari sekitar 500 makam, letaknya di sebelah barat Jln. Raya Cirebon-Karangampel-Indramayu. Yang satu lagi yakni Kompleks Makam Syekh Dathul Kahfi di Gunung Jati, berada di timur jalan raya.


Kompleks Makam Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung memiliki sembilan pintu utama (Lawang Sanga) di kompleks makam. Namun demikian untuk peziarah umum, hanya diizinkan sampai pintu ke-IV di serambi muka Pesambangan. Serambi muka dibatasi Lawang Gedhe, pintu pembatas bagi peziarah umum.


Di sebelah barat serambi muka ada Lawang Mergu, diperuntukkan bagi para peziarah Tiong Hoa yang ingin berdoa untuk Putri Ong Tien Nio.
Pintu kelima sampai sembilan, lebih ekslusif, hanya diperuntukkan bagi keturunan Sunan Gunung Jati, yakni para sultan dan kerabatnya di Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.


Pusat dari kompleks yakni Makam Sunan Gunung Jati berada seelah pintu kesembilan, terletak di Puncak Gunung Sembung yang tingginya mencapai 20 meter.


Di dalam areal itu ada Masjid Dog Jumeneng atau Masjid Agung Sunan Gunung Jati, berkapasitas 3.000 jemaah. Terdapat pula Paseban Besar, pendopo tempat upacara penerimaan tamu kehormatan, Paseban Soko tempat permusyawaratan dan Gedung Jimat tempat penyimpanan guci-guci kuno dari berbagai dinasti Tiongkok.


Gapura Penganten (gapura depan tempat masuk ke makam tersebut) ke Makam Utama Sunan Gunung Jati membentuk garis lurus. Melewati sejumlah tempat seperti Lawang Krapyak, Lawang Pasujudan, Lawang Ratnakomala sampai ke yang paling keramat Lawang Jinem. Di Bangsal Jinem Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah (1448 – 1568 m) dimakamkan bersama permaisuri Ratu Mas Pakungwati, selir, dan anak-anaknya.


Kompleks makam dikelola abdi dalem yang setia mengabdi. Berjumlah 120 orang yang dulunya pengawal pribadi. Mereka menggantungkan hidup dari keberadaan kompleks makam. Penghasilan diperoleh dari kotak sedekah yang disebar di sejumlah sudut kompleks makam. Uang dari kotak sedekah dibuka dua minggu sekali. Hasilnya untuk berbagai keperluan, selain para pengelola, juga fakir miskin, keamanan, dan pemeliharaan serta kebersihan

Waktu Ziarah


Pada malam yang dalam kosmologi Jawa dianggap paling bertuah, terdapat belasan ribu orang tumpah ruah di Kompleks Makam Sunan Gunung Jati. Puluhan bus, kendaraan pribadi, sampai sepeda motor memadati sejumlah lapangan parkir yang banyak disediakan di sekitar makam. Jalur utama Jln. Raya Cirebon-Karangampel-Indramayu dibuat macet, ratusan kendaraan ke arah Cirebon maupun Indramayu harus rela antre bila melewati kompleks makam itu.


Ada sejumlah puncak kunjungan tempat peziarah memadati Kompleks Makam Sunan Gunung Jati. Selain puncak rutin setiap Jumat Kliwon, ada juga puncak kunjungan yang disatukan dengan upacara atau ritual tradisi dalam Islam.


Setiap Maulid, memperingati lahirnya Nabi Muhammad saw., ada upacara tiga hari tiga malam tanggal 10, 11, dan 12 Maulid. Diisi prosesi “Panjang Jimat”, berupa arak-arakan benda-benda pusaka diiringi pengajian dan salawat nabi.


Lalu ritual Grebek Syawal, dilaksanakan 7 hari setelah Idulfitri. Berupa kunjungan Sultan Cirebon (Sultan Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan) dan keluarganya ke Makam Sunan Gunung Jati. Grebek Syawal merupakan kunjungan terpadat. Puluhan ribu warga biasanya tumpah ruah memadati kompleks makam untuk Ngalap Berkah atau berebut makanan yang disediakan para Sultan Cirebon dan keluarganya.


Ada juga Grebek Rayagung, dilaksanakan saat Iduladha. Ritual ini hanya diikuti oleh warga sekitar makam


Untuk bulan Ramadan, hanya ada satu ritual rutin, yakni pencucian “Jimat” atau benda-benda pusaka oleh para Kemit atau Bekel yang dipimpin Jeneng. Pencucian benda pusaka seperti gamelan dan seperangkat alat “pande besi” (pembuatan pedang, golok, pisau, dan sejenisnya) yang merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati dilakukan pada Ramadan hari ke-20. Pelaksanaannya setelah waktu Salat Subuh. Pencucian untuk menyambut Nuzulul Quran. Dilakukan pagi hari Bada Subuh.

 

Kesuwun sanget kagem http://ninonk28.multiply.com sing wis tak jukut tulisane…

DITERBITKAN DI:  ON AT 12:37 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Sejarah Topeng Cirebon

Menulis tentang keberadaan seni Tari Topeng Cirebon dengan kaitannya di dalam Keraton Cirebon, maka tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah berdirinya Penguasa Islam di daerah pesisir ini.


Pada saat berkuasanya Sunan Gunung Jati sebagai Pimpinan Islam di Cirebon, maka datanglah percobaan untuk meruntuhkan kekuasaan Cirebon di Jawa Barat. Tokoh pelakunya adalah Pangeran Welang dari daerah Karawang. Tokoh ini ternyata sangat sakti dan memiliki pusaka sebuah pedang bernama Curug Sewu. Penguasa Cirebon beserta para pendukungnya tidak ada yang bisa menandingi kesaktian Pangeran Welang. dalam keadaan kritis maka diputuskan bahwa utnuk menghadapi musuh yang demikian saktinya harus dihadapi dengan diplomasi kesenian. Setelah disepakati bersama antara Sunan Gunung Jati, Pangeran Cakrabuana dan Sunan Kalijaga maka terbentuklah team kesenian dengan penari yang sangat cantik yaitu Nyi Mas Gandasari dengan syarat penarinya memakai kedok/topeng.


Mulailah team kesenian ini mengadakan pertunjukan ke setiap tempat seperti lazimnya sekarang disebut ngamen. dalam waktu singkat team kesenian ini menjadi terkenal sehinga Pangeran Walang pun penasaran dan tertarik untuk menontonnya. Setelah pangeran Walang menyaksikan sendiri kebolehan sang penari, seketika itu pula dia jatuh cinta, Nyi Mas Gandasari pun berpura – pura menyambut cintanya dan pada Saat Pangeran Walang melamar maka Nyi Mas Gandasari minta dilamar dengan Pedang Curug Sewu. Pangeran Walang tanpa pikir panjang menyerahkan pedang pusaka tersebut bersamaan dengan itu maka hilang semua kesaktian Pangeran Walang.


Dalam keadaan lemah lunglai tidak berdaya Pangeran Walang menyerah total kepada sang penari Nyi Mas gandasari dan memohon ampun kepada Sunan Gunung Jati agar tidak dibunuh. Sunan Gunung Jati memberi ampun dengan syarat harus memeluk agama Islam. Setelah memeluk agama Islam Pangeran Walang dijadikan petugas pemungut cukai dan dia berganti nama menjadi Pangeran Graksan. Sedangkan para pengikut Pangeran Walang yang tidak mau memeluk agama Islam tetapi ingin tinggal di Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk menjaga keraton – keraton Cirebon dan sekitarnya.


( Cerita ini diambil dari buku Babad Cirebon Carang Satus dan pernah dipentaskan melalui pagelaran Wayang Golek Cepak oleh Dalang Aliwijaya di Keraton Kacirebonan Cirebon ).


Melihat keberhasilan misi kesenian topeng bisa dijadikan penangkal serangan dari kekuatan – kekuatan jahat maka pihak penguasa Cirebon menerapkan kesenian topeng ini untuk meruat suati daerah yang dianggap angker. Dan kelanjutannya kesenian topeng ini masih digunakan di desa – desa untuk upacara ngunjung, nadran, sedekah bumi dan lain – lainnya.


Setelah masyarakat menerima tradisi meruat itu, di samping harus ada pagelaran wayang kulit juga harus menampilkan tari topeng, maka tumbuh suburlah penari – penari topeng di Cirebon. Namun yang mula – mula menarikan tari topeng ini kebanyakan para dalang wayang kulit yang sebelum pentas wayang, pada siang hari sang dalang harus menari topeng terlebih dahulu. Oleh karenanya para dalang wayang kulit yang lahir sebelum tahun 1930 diwajubkan untuk mendalami tari topeng terlebih dahulu sebelum menjadi dalang wayang kulit. Dalam hubungannya pihak keraton selalu melibatkan kesenian untuk media dakwah dalam penyebaran agama Islam, dan pihak keraton memberikan nama Ki Ngabei untuk seniman yang juga berdakwah.


Kesenian tari topeng Cirebon menjalankan sisi dakwah keagamaan dengan berpijak kepada tata cara mendalami Islam di Cirebon yang mempunyai 4 (empat) tingkatan yang biasa disebut : Sareat, Tarekat, Hakekat dan Ma’ripat.

 

Kesuwun kangge http://carubannagari.blogspot.com sing wis tak jukut tulisane… kesuwun kang!

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 27, 2009 AT 4:34 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Desa Bendakerep

Persiapan menjelang panjang jimat bukan hanya terjadi di lingkungan Kraton Kanoman. Tapi juga sampai ke Desa Bendakerep, yang merupakan tanah milik Kraton Kanoman, Cirebon. Di desa yang berbatasan dengan Kabupaten Kuningan ini terdapat sebuah pondok pesantren yang didirikan keluarga keraton.


Meskipun masih berada dalam wilayah Kota Cirebon, namun desa ini tidak memiliki jembatan untuk menyeberangi sungai yang berada di muka desa. Ini bukan karena Bendakerep tidak tersentuh pembangunan modern. Tapi lebih karena pihak pengelola pondok pesantren masih memegang teguh pesan dari para pendiri desa, yang menolak jembatan untuk menuju desa mereka.


Meski telepon selular diperbolehkan untuk dimiliki beberapa orang di desa ini, namun warga tidak diperkenankan punya pesawat radio transistor, karena dikhawatirkan akan memberi pengaruh buruk pada tingkah laku warga.


Dalam ritual panjang jimat, Desa Bendakerep biasa menyediakan buah kelapa dan berbagai hasil bumi lain untuk Keraton Kanoman. Buah kelapa yang banyak tumbuh di Bendakerep, nantinya akan diolah menjadi minyak kelapa, untuk keperluan memasak dalam rangkaian panjang jimat.


Menjelang petang, buah kelapa dan barang-barang lain dari Bendakerep tiba di Keraton Kanoman. Ini memang jadi semacam persembahan bagi sang pemilik tanah. Sang pembawa persembahan pun adalah orang terpercaya. Ia adalah Rodiah.

Dari pihak Kanoman, Sang Ratu Dalem Sultan Kanoman ke-11, Ratu Suri Hajjah Sri Mulya, ibu dari Sultan Kanoman ke-12. Sepertinya ini adalah pemberian yang biasa saja. Namun sesungguhnya, tidak sembarang orang bisa menjadi sang pengantar buah kelapa dari Bendakerep.


Tugas ini hanya dipercayakan pada keluarga Rodiah secara turun temurun. Sebuah kepercayaan yang dengan bangga disandang dan dijaga Rodiah dan keluarganya hingga kini.

Air untuk memasak makanan dalam rangkaian panjang jimat, diambil dari sumur kejayaan, yang letaknya masih dalam lingkungan kraton. Dengan mengusung pundi-pundi, para abdi dalem ini dilarang berbicara sepatah katapun saat mengambil air.

Konon air yang berasal dari sumur ini akan memberi berkah kepada mereka yang memanfaatkannya. Tanaman yang disiangi dengan air ini akan tumbuh subur, jauh dari hama penyakit.

Bahkan ada yang percaya, air ini memberi kesehatan bagi tubuh. Karena itu banyak dari mereka yang datang kemudian mandi di sumur ini, atau sekedar membasuh muka.Beberapa ada yang membawanya pulang. Menurut pihak keraton, mata air di sumur ini tidak pernah kering sepanjang masa, meskipun sedang musim kemarau.

 

kesuwun kagem Suara Merdeka, sing wis tak cuplik sebagian tulisane… Kesuwun Kang!

 

DITERBITKAN DI:  ON AT 4:17 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Kayu “Tuk”, Bekas Duduk Pangeran Walangsungsang

PERINGATAN Maulid Nabi Muhammad SAW (muludan) di Desa Tuk, Kec. Kedawung, Kab. Cirebon, terbilang mempunyai keunikan tersendiri. Sebab pada puncak acara muludan di desa tersebut, kamis (27/3), di lakukan pengangkatan buyut kayu per perbatang, Pangeran Mancur Jaya, sebuah pusaka yang di anggap keramat oleh masyarakat setempat.

 

 Juru pelihara merangkap juru kunci situs balong keramat Pangeran Mancur Jaya, Raden Suparja, mengatakan, puncak acara muludan alias pelal di desa Tuk, di peringati setiap tanggal 19 Rabiul Awal, atau sepekan setelah puncak muludan di Keraton Kanoman dan Kasepuhan Cirebon.

 

Ritual pengangkatan kayu keramat Pangeran Mancur Jaya, di mulai dengan pembacaan shalawat Nabi. Setelah di kumandangkan adzan oleh seorang muadzin, tujuh orang kemudian menyelam ke dasar balong keramat untuk mengangkat kayu tersebut.


Kayu berukuran panjang kurang lebih dua meter tersebut kemudian di terima oleh empat orang, lalu di mandikan dengan air kembang dan kemenyan. Setelah di mandikan, kayu tersebut di kafani dan di semayamkan layaknya jenazah manusia.
Ratusan warga setempat berbaur dengan pengunjung yang datang dari berbagai daerah seperti Indramayu, Majalengka, dan Kuningan, bahkan dari Bandung dan Jakarta memadati jalanan menuju lokasi balong keramat.

 

Mereka datang ke persemayaman kayu keramat sambil nyekar atau menaburkan bunga sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur. Masyarak setempat meyakini kayu peninggalan Wali tersebut, mengandung karomah dan memiliki beberapa keistimewaan. Salah satunya, kayu tersebut setiap tahun panjangnya selalu berubah. Selain itu kayu tersebut memiliki sifat-sifat seperti layaknya manusia.

 

Di jelaskan Raden Suparja, Pangeran Mancur Jaya menemukan kayu perbatang pada pukul sembilan tanggal 19 Rabiul Awal. Kayu tersebut adalah bekas tempat duduk Raden Walangsungsang ketika bertapa, yang di temukan Pangeran Mancur Jaya ketika ia di perintahkan pihak Keraton untuk mencari sumber air kala terjadi kekeringan panjang di wilayah Cirebon.



Memancarkan air    


“Ketika Pangeran menghentakan kayu tersebut ke tanah, memancarlah air dari sela-sela tanah. Benturan kayu menimbulkan bunyi “tuk”sehingga desa tersebut  kemudian dinamakan desa tuk”kata Raden Suparja.

 

Percikan air dari balong keramat yang di pakai untuk memandikan kayu tersebut, di percaya dapat memberikan aura yang tertutup dan membuang kesialan. Sehingga ratusan orang berebut air keramat tersebut, tak terkecuali anak-anak kecil.


Setelah di mandikan dan di kafani, buyut kayu perbatang Pangeran Mancur Jaya, selanjutnya di letakan kembali ke dalam balong, setelah melalui suatu prosesi yang di awali dengan arak-arakan panjang jimat pada pukul 20.00 WIB.


Berbagai benda pusaka peninggalan Pangeran Mancur Jaya, Pangeran Jaka Tawa, dan Pangeran Matang Aji, seperti pusaka si kober, trisula, golok warangan, pendil sewu dan pusaka lainnya yang berjumlah 17 buah di arak keliling desa. Ribuan warga dari berbagai tempat datang untuk mengikuti atau sekedar menyaksikan ritual tahunan tersebut. Sejumlah warga tampak melakukan tabur bunga dan melemparkan uang receh ke arah benda-benda keramat tersebut.


Mereka percaya benda-benda pusaka tersebut dapat memberi berkah

Setelah arak-arakan selesai, pada pukul 22.00 Wib di lakukan prosesi peletakan kayu keramat ke dalam balong. Acara tersebut di awali dengan marhabanan sebagai bentuk puji-pujian Nabi Muhammad SAW, kemudian sebelum di masukan ke dalam balong seorang muadzin mengumandangkan adzan. Di masukannya kayu keramat ke dalam balong keramat menandai berakhirnya prosesi muludan di Desa Tuk.

 

kesuwun kagem Mitra Dialog, 28 Maret 2008 sing wis tak jukut tulisane…

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar