Jumat, 12 Maret 2010

Asal Usul Desa Arjawinangun

Dalam pengembaraannya untuk mencari dan memperdalam agama islam, dua orang Padjajran Raden Walang Sungsang dan adiknya Nyi Rarasantang sampai ke Mesir menunaikan ibadah haji. Raden Walang sungsang pulang ke Cirebon dengan sebutan Haji Abdullah Iman, sedangkan Nyi Rarasantang tetap berada di Mesir karena telah bersuamikan Syarif Abdullah seorang Raja Mesir. Berputra dua oranng yaitu Syraif Hidayahtullah dan Syarif Nurullah. Tidak lama kemudian setelah Syarif Hidayatullah dilahirakan, ayahandanya wafat.

Menginjak usia dewasa, Syarif Hidayahtullah berpamitan kepada ibunya pergi ke Cirebon sambil mencari guru untuk memperdalam ajaran Agama Islam. Di Cirebon bertemu dengan uwaknya H.Abdullah Iman atau disebut juga Pangeran Cakra Buana yang telah memiliki seorang putri bernama nyi Mas Pakung wati, dari prnikahannya dengan Nyai Endang Geulis. Syarif hidayahtullah dinikahkan dengan Nyi Mas Pakung wati dan menduduki Keraton Pakung Wati dengan gelar Sultan Syarif Hidayahtullah atas pemberian nama uaknya P.Cakra Buana.

Belum lama di Cirebon, Syarif Hidayahtullah pergi mengembara ke Negri Cina untuk menuntut ilmu dan menyebarkan Agama Islam. Di Negeri Cina Syarif hidayahtullah sangat dihormati oleh masyarakat yang didatangi dan banyak pula yang menganut Agama Islam. Karena dianggap orang sakti dan sangat ramah dengan penduduk.

Pada suatu ketikas tejadi kebakaran di pembakaran keramik, di dalam rumah yang menyala-nyala dilanda api, tak ada seorangpun yang berani menyelamatkan bayi yang masih ada didalamnya. Dengan tenangnya Syarif Hidayahtullah masuk untuk menyelamatkan bayi lewat kobaran api yang menyala. Bayi dapat diselamatkan dengan keadaan segar bugar, begitu pula dengan Syarif hidayahtullah, pakaiannya tidak terbakar sedikitpun. Penduduk terkagum-kagum dan dianggapnya orang sakti.

Peristiwa itu terdengar Kaisar Cina yang menjadikan dirinya gusar dan marah. Maka dibuatlah tipu muslihat, diundanglah Syarif Hidayahtullah ke Istana untuk menebak apakah putri An Liong Tien benar-benar mengandung atau tidak. Dikatakannya oleh Syarif Hidayahtullah bahwa putri tuan besar mengandung. Semula Syarif Hidayahtullah akan menerima hukuman yang berat dari kaisar karena diperut Putri An Liong Tin hanyalah sebuah bantal belaka yang diletakkan didalam perutnya, sehingga persis seprti orang mengandung. Akan tetapi dalam keputren seorang emban menjerit-jerit bahwa Putri An Liong tin benar-benar mengandung. Setelah dilihat oleh kaisar benar juga adanya. Syarif hidayahtullah menyelinap keluar dari istana dan kembali ke Cirebon.

Putri An Liong Tin berpamitan kepada ayahnya untuk mencari calon suaminya di Cirebon. Dalam pertemuannya di gunung jati putri An Liong tin dinikahi oleh Syarif Hidayahtullah dan di tempatkan di daerah Luragung. Putri An Liong Tin dikenal pula dengan sebutan Ratu Petis, karena gemar makan petis.

Ketika Putri An Liong Tin melahirkan, bayi yang baru dilahirkan meninggal dunia. Karena merasa kehilangan, Putri An Liong Tin mengangkat putra Ki Gede Luragung bernama Arya Kemuning, kemudian namanya menjadi Adipati Arya Kemuning.

Pada saat menginjak usia dewasa, Dipati Arya Kemuning yang telah ditinggal ibunya wafat, pergi ke Gunung Jati untuk ayahandanya Sultan Syarif Hidayahtullah. Sulatan Syarif Hidayatullah menerimanya dengan suka hati, kemudian Dipati Arya kemuning ditugaskan untuk mengundang Suryadarma di Indramayu agar datang ke Gunung Jati.

Sekembalinya Arya Kemuning setelah melaksanakan amanat ayahandanya, karena kelelahan, Dipati Arya Kemuning istirahat untuk melepaskan lelah. Ditempat istirahat Dipati Arya Kemuning itulah sekarang disebutnya Desa Arjawinangun.

Arjawinangun terdiri dari dua kata yaitu ARJA dan WINANGUN. Arja artinya bahagia dan Winangun artinya membangun atau telah selesai melaksanakan tugas.

kesuwun kanggo http://otoy467.wordpress.com sing tak jukut tulisane..matur kesuwun sanget, Kang..

Kraton Kacirebonan

Walaupun disebut sebagai Kraton namun bangunan dari Kraton Kacirebonan memiliki bentuk seperti rumah biasa yang menjadi tempat tinggal anggota keluarga kerajaan yang ada saat ini yang merupakan keturunan dari Raja Kanomin yang memisahkan diri dari Kesultanan Kasepuhan abad ke 18. jangan ragu-ragu datang kesini, ketuk pintunya dan seseorang akan membukakan pintunya dan dengan senang hati mengantarkan anda berkeliling, namun jangan lupa untuk memberi sumbangan. Rumah yang dibangun pada tahun 1839 ini memiliki arsitektur kolonial yang bagus serta sejumlah koleksi antara lain pedang, dokumen dan benda-benda peninggalan kerajaan lainnya.

Kedudukan Cirebon yang berada pada bayang-bayang pengaruh Mataram. ketika Amangkurat I berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677. Masa pemerin tahan yang ditandai dengan banyaknya pergolakan agaknya menjadi faktor penting mengapa Cirebon semakin menjadi lemah. Pada zaman Amangkurat I, penguasa Cirebon Panembahan Ratu II, cucu Panembahan Ratu, atas permintaan Mataram berpindah ke Girilaya. Kepergiannya dari Keraton’ Cirebon ke daerah dekat ibukota Mataram ini disertai oleh kedua puteranya, yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya. Sebagai penggan ti kedudukannya selaku Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling bungsu, yaitu Pangeran Wangsakarta.

Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662 Masehi. Sebelum meninggal beliau membagi kerajaannya menjadi dua yang diwariskan kepada kedua puteranya itu. Pangeran Martawijaya diangkat sebagai Panembahan Sepuh yang berkuasa atas Kasepuhan. Sedangkan Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan Anom yang berkuasa atas Kanoman.

Sementara itu, Raja Amangkurat I yang kurang bijaksana menimbulkan kebencian di kalangan istana dan penguasa-penguasa daerah yang lain. Dengan didukung oleh seorang pangeran dari Madura bernama Tarunajaya, sang putera mahkota mengadakan pemberontakan. Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak berhasil karena perpecahan antara keduanya.

Raja Amangkurat I kemudian meninggal di Tegalwangi setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada pihak pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan pcwaris tahta Cirebon kembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian kini di Cirebon bherkuasa tiga sultan, masing-masing Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Sultan Cerbon.

Sementara itu di Mataram sebagai akibat dari pemberontakan Tarunajaya, bertumpuklah hutang yang harus dibayarkan kepada pihak VOC-Belanda yang membantu Amangkurat I. Pihak Mataram membayar hutangnya itu dengan cara melepaskan pelabuhan-pelabuhan potensial beserta penghasilan yang amat menguntungkan itu kepada VOC.

Akibatnya lebih lanjut adalah penghapusan gelar Sultan dari penguasa Cirebon pada tahun 1681 Masehi. Sebagai gantinya, raja-raja Cirebon kembali pada gelar Panembahan yang sesungguhnya lebih rendah dari Sultan.

Pengganti Sultan Anom adalah putera bungsu. Sedangkan di Kasepuhan terjadi pembagian kekuasaan anatara Sultan Sepuh dan Sultan Cirebon. Ketika Pangeran Cirebon dibuang karena melawan Belanda, daerah kekuasaan nya diberikan kembali kepada Sultan Sepuh. Kemunduran Kesultanan Cirebon semakin meningkat sejak tahun 1773 Masehi. Setelah Panembahan terakhir wafat tanpa mewarisi keturunan, daerahnya kemudian menjadi terbagi-bagi dan dikuasai oleh para pangeran.

kesuwun kangge http://www.merbabu.com sing wis tak jukut tulisane, Kesuwun kang…!

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 21, 2009 AT 7:35 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Masjid Kasepuhan Cirebon

Masjid itu terlihat kukuh. Pagar tembok setebal 40 cm dan setinggi 1,5 m mengelilingi rapat-rapat. Warna merah bata yang memulas sekujur tembok membuat makin berwibawa saja. Ya, pagar itu merupakan bagian dari Masjid Keraton Kasepuhan Cirebon, Masjid Sang Ciptarasa. Di dalam pagar yang menyerupai benteng itu, berdiri kukuh masjid yang berdiri sejak tahun 1478 lampau.


Masjid itu didirikan seiring dengan berdirinya Keraton Kasepuhan. Tak heran jarak antara masjid dan keraton hanya terpisah oleh alun-alun kecil seukuran lapangan bola. Menurut sejumlah pengusur masjid, keaslian masjid masih terjaga. Atap menggunakan genteng warna hitam tanah. Sementara dinding masjid menggunakan bata merah setebal 40 cm.


“Bangunan lama masjid hanya di bagian dalam ukuran 20×20 m,” kata Salehudin (57), salah satu pengurus masjid Kasepuhan kepada detikcom, Selasa (9/9/2008). Sulit diterima bila bagian inti masjid merupkan tempat ibadah. Sebab, kokohnya dinding lebih menyiratkan benteng kecil tempat persembunyian.


Untuk memasukinya, hanya ada satu pintu utama yang berukuran normal. Selebihnya, pintu samping kiri dan kanan sangat mungil, hanya berukuran 1  m x 80 cm. Sehingga, perlu merunduk untuk memasuki bagian inti masjid. “Saat penjajah kolonial masih bercokol, masjid ini memang sempat menjadi salah satu persembunyian,” imbuh Salehudin.


Ada berbagai versi mengenai awal dibangunnya masjid ini. Di antaranya, menurut catatan Keraton Kasepuhan, yang mengacu pada candrasengkala, masjid tersebut dibangun pada “waspada panembahe yuganing ratu”. Kalimat ini bermakna  2241, alias 1422 Saka, sezaman dengan 1500 Masehi. Menurut Kretabhumi, dibangun pada 1489 Masehi. Pemimpin proyeknya Sunan Kalijaga. Ia melibatkan 500 tenaga kerja dari Cirebon, Demak, dan Majapahit.


Sunan Kalijaga tidak sendiri, ia dibantu Raden Sepat, arsitek dari Majapahit. Sepat adalah tawanan perang Demak-Majapahit, yang diboyong Sunan Gunung Jati, salah satu senopati Demak. Sepat merancang ruang utama masjid berbentuk bujur sangkar. Luasnya 400 meter persegi. Tempat pengimaman menghadap ke barat, miring 30 derajat arah barat laut. Arah ini diyakini warga sekitar masjid tepat menuju Masjidil Haram, Mekkah.


Masjid terbagi lima ruang, yaitu ruang utama, tiga serambi, dan ruang belakang. Ruang utama adalah bangunan masjid yang asli. Lantainya dari terakota tanah atau tembikar, berukuran 30 x 30 sentimeter. Serambi bagian selatan disebut bangsal prabayaksa, dalam bahasa Jawa kuno berarti ruang pertemuan.

Kini, setelah berabad-abad ditinggalkan sang pendiri, aura kebasaran masa lalu masih tercium kental. Kombinasi antara arsitektur masa lalu, pulasan warna yang berkarakter dan tata wilayah yang khas menunjukan daerah itu sebagai pusat  kota pada masa lalu. Selebihnya, masjid di Jl Jagasatru tersebut sangat sejuk, teduh dan cocok untuk mendekatkan diri pada ilahi.

kesuwun kanggo http://ramadan.detik.com sing wis tak jukut tulisane… kesuwun, Kang!

 

DITERBITKAN DI:  ON AT 1:47 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Wasiat

Batur lan Sedulur sedanten, niki kula bade nyampe’nang wasiat ingkang sampun Kanjeng Sunan Gunung Jati titip kangge sedanten kawula Cerbon. Mogi – mogi, batur lan sedulur sedanten, kawula Cerbon, teng pundi mawon wenten’ne, sampun kalepatan. Kangge agem – agem’me kawula Cerbon, melampah teng dunia niki.

Ingsun titip tajug lan fakir miskin
Wedia ing Allah
Kudu ngakehaken pertobat
Aja nyindra janji mubarang
Singkirna sifat kanden wanci
Duweha sifat kang wati
Den hormat ing wong tuwa
Den hormat ing leluhur. 

—Aku berpesan
Titip tajug dan fakir miskin
Takutlah kepada Allah
Banyak-banyaklah bertobat
Jangan mengingkari janji
Jauhi sifat yang tidak baik
Miliki sifat yang baik
Harus hormat kepada orang tua
Harus hormat kepada leluhur.

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 19, 2009 AT 2:53 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Memayu Ki Buyut Trusmi

Datangnya musim hujan disambut suka cita di Cirebon. Masyarakat menyambutnya dengan tradisi memayuh Ki Buyut Trusmi. Dalam pesta rakyat ini sejumlah pusaka warisan Ki Buyut Trusmi serta hasil bumi dikirab. Arak-arakan juga dimeriahkan tarian langka.

Arak-arakan ini merupakan bagian dari prosesi memayuh Ki Buyut Trusmi. Tradisi menyambut datangnya musim hujan di Cirebon, Jawa Barat. Sejumlah pusaka warisan Ki Buyut Trusmi serta hasil bumi ikut dikirab dalam prosesi ini. Serta dimeriahkan tari-tarian langka.

Sejak pagi peserta arak-arakan sudah memenuhi jalanan. Ribuan warga juga tumpah ruwah disepanjang jalan. Mereka datang tidak saja dari sekitar kota Cirebon, tapi juga Majalengka, Indramayu dan Kuningan.

Pada barisan terdepan, 14 tombak pusaka warisan Ki Buyut Trusmi dibawa para kemit, petugas jaga makam keramat.

Prosesi kirab ini dimulai dan berakhir di Makam Ki Buyut Trusmi dengan mengambil rute memutar sekitar 6 kilometer melewati jalan Pantura – Plered. Prosesi berlangsung sekitar 3 jam, sehingga ruas jalur Pantura – Plered ditutup total.

Setelah rombongan pembawa tombak pusaka, barisan berikutnya adalah para sesepuh Trusmi dan para pejabat tingkat kecamatan Plered dan Weru, Cirebon. Kemudian disusul barisan pembawa ranting bambu.

Kulit atau atap rumbia ini akan dipasang di komplek makam keramat Ki Buyut Trusmi. Pengantian atap juga berarti persiapan memasuki musim hujan. Tradisi memayuh ini merupakan perwujudan rasa syukur atas datangnya musim hujan. Bagi para petani, datangnya musim hujan merupakan berkah dari Tuhan, sehingga mereka dapat bercocok tanam.

Dalam prosesi ini, tumpeng raksasa, padi, sayur, mayur dan hasil bumi juga ikut dikirab.

Bagi warga, tradisi memayuh ini menjadi ajang untuk mengalah barokah atau mendapat berkah. Di tengah perjalanan, warga berebut mengambil nasi tumpeng dan hasil bumi.

Mereka percaya benda-benda ini mengandung berkah karena sudah didoakan oleh para sesepuh. Selain pusaka dan hasil bumi, arak-arakan juga menampilkan sejumlah tari-tarian khas rakyat seperti tari Babak Yoso dan Tari Angun.

Tarian ini tergolong langka karena sudah jarang ditampilkan. Tari Babak Yoso merupakan tari perjuangan rakyat Trusmi dalam melawan penjajah Belanda. Dengan senjata tombak di tangan, para penari pria dan wanita menari dengan gagah.

Arak-arakan juga dimeriahkan sejumlah atraksi seperti kudang lumping, jakungan dan drum berjalan. Untuk menarik perhatian, sejumlah warga dan anak-anak dilumpuri cairan arang bercampur minyak.

Prosesi memayuh ini berakhir di komplek Makam Ki Buyut Trusmi. Seluruh warga yang terlibat kirab ditandai dengan acara makam bersama.

Sebagian warga berziarah ke Makam Ki Buyut Trusmi. Ziarah itu dilakukan sebagai penghormatan atas jasa Ki Buyut Trusmi sebagai salah seorang tokoh penyebar agama Islam pada zaman Kerajaan Cirebon.

Sebagian warga menganggap Ki Buyut Trusmi adalah Mbak Kuwu Cirebon yang merupakan paman Sunan Gunung Jati dan orang yang pertama kali membuka pendukuhan Cirebon.

Namun menurut versi Keraton Kanoman dan Kasepuhan, kedua tokoh tersebut adalah dua orang berbeda. Konon Ki Buyut Trusmi mahir membuat batik dan mengajarkannya ke masyarakat sebagai media dakwah.

 

Ketrampilan membatik tersebut tetap bertahan hingga kini, sehingga daerah itu dikenal sebagai sentra penghasil batik. (Helmi Azahari/Sup)

kesuwun kanggo http://www.indosiar.com sing wis tak jukut tulisane…kesuwun, Kang!

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 16, 2009 AT 8:22 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Masjid Merah Panjunan

Masjid Panjunan di Cirebon lebih mirip surau karena ukurannya yang kecil ketimbang sebuah masjid. Hanya sekitar 100 jemaah shalat bisa memadatinya. Pada shalat dhuhur sehari-hari, hanya sekitar 20 orang bergabung dalam deretan jemaah.

 

Tapi, inilah masjid yang hidup. Selain menjadi tempat shalat, kita bisa menyaksikan seorang guru mengajar mengaji anak-anak di situ sore hari. Kemeriahan memuncak pada Ramadhan, baik ketika orang bahkan dari luar kota berburu takjil, hidangan buka puasa, berupa gahwa alias kopi jahe khas Arab.

 

Lebih dari segalanya, inilah masjid tertua di Cirebon, dan mungkin salah satu yang tertua di Jawa, yang menjadikannya unik. Berdiri di sebuah pojok bagian kota tua Cirebon, masjid ini menyimpan sejarah panjang. Dia didirikan pada 1453, lebih tua dari Masjid Agung Demak (1477), Masjid Menara Kudus (1530), dan Masjid Agung Keraton Kasepuhan Cirebon sendiri (1549).

 

Gerbang dan dinding bata merah sangat mencolok di masjid ini sehingga dia juga sering disebut Majid Merah. Bangunan bata ini merupakan warisan arsitektur kuno Hindu-Majapahit.

 

Masjid ini terletak di kampung Panjunan, kampung pembuat jun atau keramik proselen dan didirikan oleh Pangeran Panjunan yang merupakan murid Sunan Gunung Jati, salah satu dari Sembilan Wali, penyebar Islam di Jawa. Menurut risalah kuno Babad Tjerbon, nama asli Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman. Dia memimpin sekelompok imigran Arab dari Baghdad. Sang pangeran dan keluarganya mencari nafkah dari membuat keramik. Sampai sekarang anak keturunannya masih memelihara tradisi kerajinan keramik itu, meski kini lebih untuk tujuan spiritual ketimbang komersial.

 

Pangeran Panjunan dimakamkan di Plangon (12 km barat-daya Cirebon). Makamnya merupakan salah satu tujuan ziarah penting di Cirebon, terutama pada 27 Rajab, ketika sebuah upacara tahunan digelar untuk memperingatinya.

 

Meski nuansa Arab tak terelakkan bila dilihat tradisi minum gahwa, ornamen masjid ini, seperti bangunan kuno lain di Cirebon, sangat kental dipengaruhi oleh seni tradisional Tionghoa. Piring-piring porselen asli Tiongkok menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon dan bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di kota itu.

 

Sebuah legenda menyebutkan, keramik Tiongkok itu merupakan bagian dari hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati menikahi putri sang kaisar yang bernama Tan Hong Tien Nio. Tak jauh dari masjid itu terdapat kuil Buddha kuno–Vihara Dewi Welas Asih, yang didominasi warna merah juga.

 

Fakta kuatnya pengaruh Tionghoa menerbitkan spekulasi sejarah, yang masih diperdebatkan sampai sekarang, bahwa orang-orang Tionghoa lah, bukan pedagang Gujarat, penyebar Islam pertama di Jawa. Keislaman China memang lebih tua ketimbang Jawa. China telah mengenal islam disaat masyarakat Jawa hidup dalam dunia berhala dan klenik.

 

Lepas dari semua kontroversi, Masjid Panjunan mewakili sikap kosmopolit hasil persilangan budaya sejak dahulu kala. Simbol lain dari percampuran budaya ini juga nampak dalam ornamen kereta Paksi Nagaliman. Kereta kebesaran kesultanan Cirebon di masa lampau itu berbentuk hewan bersayap, berkepala naga, dan berbelalai gajah (ganesa). Hal itu menyiratkan makna bahwa budaya Cirebon terbentuk dari tiga kekuatan besar, yakni kebudayaan Cina (naga), kebudayaan Hindu (gajah), dan kebudayaan Islam (liman). Cirebon sendiri berasal dari kata caruban, atau campuran.

 

Pengaruh Tionghoa sebenarnya tidak hanya menancap dalam arsitektur, melainkan juga dalam seni topeng yang karakternya mirip tokoh Opera Peking; dalam seni batik Trusmi; serta dalam seni lukis kaca yang masih hidup sampai sekarang.

 

Cirebon mewakili sejarah pertemuan Islam-Tionghoa yang sangat mewarnai kota-kota pesisir utara Jawa, dari Banten hingga Gresik, kota-kota yang pernah dikunjungi Cheng Ho, seorang panglima dan pengelana muslim dari Dinasti Ming.

 

Cheng Ho tidak bisa dilepaskan dengan Islam dan Indonesia yang dulu Nusantara. Budaya Sino-Javanese Muslim Cultures yang membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem sampai Gresik dan Surabaya sebagai akibat dari perjumpaan Cheng Ho dan Tionghoa Islam lain dengan Jawa.

 

Pada 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring bertuliskan ayat Kursi yang kabarnya masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.

 

Tradisi masyarakat Cirebon mengenal tokoh Islam Tionghoa yang klasik, seperti Tan Eng Hoat (Maulana Ifdhil Hanafi), Tan Sam Cai alias Muhammad Syafii (ahli moneter di masa awal kesultanan Cirebon), dan Kung Sam Pak atau Muhammad Murjani (keturunan Kung Wu Ping, pendiri mercusuar Cirebon). Bersama Sunan Gunung Jati, tokoh-tokoh China muslim itu bahu-membahu menyebarkan Islam sekaligus memperluas teritorial Kesultanan Cirebon ke seantero Jawa Barat.

 

Masjid Panjunan, dan sejarah Cirebon pada umumnya, mencerminkan sikap saling-menghargai antar-budaya dan antar-keyakinan sejak dahulu kala, suatu hal ironisnya meluntur belakangan ini.

 

kesuwun kanggo http://kontekaja.com sing wis tak jukut tulisane…kesuwun, Kang

DITERBITKAN DI:  ON AT 8:11 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Angklung Bungko

Peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia pada tanggal 22 Juni 1527M, diawali dengan kegagalan kerajaan Islam Demak mengusir Portugis di Malaka (1512-1513 M). Militer Portugis yang dipimpin Alfonso D’Alburqueqe menjadi arogan, dan terus mengintai kerajaan-kerajaan di pulau Jawa untuk dijadikan negeri jajahannya. Portugis berpikir tentang bagaimana caranya agar Demak dan kerajaan lainnya di pulau Jawa dapat dikalahkan. Terpikir oleh mereka untuk mengadakan perjanjian dengan kerajaan yang merupakan musuh bebuyutan, tetapi memiliki wilayah yang cukup potensial yakni Pakuan Pajajaran dan Pasuruan. Kesepakatan kerjasama kemudian dilakukan dengan kerajaan Pajajaran pada tahun 1522 M di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Tugu. Pihak Portugis diwakili oleh Henrique Leme, sedangkan kerajaan Pajajaran diwakili oleh Sang Hyang atau Samyam (De Graff dan Th Pigeud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram).

Sesuai perjanjian tersebut, Portugis berhak membangun pos pertahanan di Sunda Kalapa. Melihat hal ini, Cirebon selaku penguasa daerah Banten yang bedekatan dengan Sunda Kalapa, merasa tidak nyaman dengan kehadiran Portugis yang semakin lama semakin meresahkan.

Sebagai sekutu Cirebon, Demak segera mengirimkan pasukan ke Cirebon dan mengutarakan maksudnya kepada Sunan Gunung Jati untuk membantu Cirebon menaklukkan Sunda Kalapa.

Pasukan Demak yang dipimpin ulama kharismatik Tu Bagus Pasei atau Fadillah Khan (Fatahillah atau Faletehan) beserta Pasukan Cirebon yang terdiri dari Angkatan Laut Sarwajala dipimpin oleh pendekar Ki Ageng Bungko, Angkatan Darat Yudha Laga dipimpin oleh Pangeran Cirebon, dan pasukan khusus Singa Bharwang Jalalullah yang terdiri dari para pendekar harimau dipimpin oleh Adipati Cangkuang, serta sepasukan pendekar cadangan yang dipimpin oleh Adipati Keling, kemudian berangkat ke Sunda Kalapa dengan menaiki perahu Bantaleo dengan panji kebesaran kerajaan Cirebon Macan Ali, dan panji kerajaan Demak yang bergambar pedang menyilang bertuliskan kalimat syahadat dipimpin oleh Patih Yudhanagara.

Portugis mendapat serangan dari dua arah, darat dan laut. Meski peralatan perang Portugis lebih modern, namunhal tersebut tidak dapat memadamkan semangat juang pasukan gabungan. Akhirnya pada tahun 1527 M, bertepatan setelah Maulid Nabi Muhammad SAW, pasukan Portugis dapat diusir. Untuk mengenang kejayaan tersebut, Sunda Kalapa diubah namanya menjadi Jayakarta, yang berarti “tempat kemenangan”. Kemudian Sunan Gunung Jati mengangkat Fadillah Khan sebagai bupati Jayakarta dengan gelar Pangeran Jayakarta.

Pada saat ini di Cirebon peristiwa ini diabadikan dalam bentuk kesenian Angklung Bungko, yang di dalamnya terdapat seni silat dan tari Bantaleye dengan nyanyian yang berbunyi:

 

Pring ketupruk-tupruk //Pring ketupruk-ketupruk

Bubung isi merang//Bubung isi merang

Cilik diepuk-epuk//Kecil diempok-empok

Bareng gede maju perang//Sudah besar maju perang

 

Perang ning Betawi//Perang di Betawi

Durung aman during balik//Sebelum menang tidak akan kembali

Balik metu ngalor//Kembali pulang ke Cirebon

Nyangking bedil isi pelor//Merampas bedil dengan pelornya

Dor, dor, do//Dor, dor, dor

 

dijukut sing http://www.wikimu.com kesuwun ya Kang…

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 15, 2009 AT 10:26 AM KOMENTAR (1) 

Filosofi Topeng Cirebon

Oleh Prof. Drs. JAKOB SUMARDJO

SUDAH lama tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya pesonanya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari Panji, yang merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon, adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer Indonesia yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji seolah-olah “tidak menari”. Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membosankan. Tarian kok tidak banyak gerak? Bukankah hakikat tari itu memang gerak (tubuh)?

Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda.

Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.

Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.

Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.

Siapakah Empu pencipta tarian ini? Sampai kiamat pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.

Di zaman mana?

Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja).

Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.

Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon, sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di pedalaman.

Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.

Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.

Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.

Mengandung semua sifat ciptaan

Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.

Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan.

Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.

Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna gelap (merah tua).

Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.

Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana “penciptaan” terjadi. Tidak mengherankan kalau di zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.

Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling bertentangan.

Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah Cirebon.

Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.

Dari: Pikiran Rakyat, Kamis, 29 Januari 2004

DITERBITKAN DI:  ON AT 10:14 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Penting

Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.

 

DITERBITKAN DI:  ON AT 10:05 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Perbutulan

Sebelum Sumber menjadi ibukota Kabupaten Cirebon, Perbutulan berstatus Desa, namun sejak Sumber menjadi ibukota Kabupaten Cirebon, Perbutulan berstatus menjadi Kelurahan. Perbutulan mungkin merupakan kelurahan/desa terkecil di Kabupaten Cirebon. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Kaliwadas, lalu berbatasan dengan Desa Watubelah (utara), Kelurahan Sumber (selatan), dan Desa Gegunung (timur). Dengan Gegunung dipisahkan oleh Sungai Cipager, yang berhulu di Gunung Ciremai. Perbutulan dibelah oleh jalan raya yang menghubungkan Sumber dengan Plered, Kecamatan Weru. Sebelum ada jalan tol Palimanan-Kanci, Plered termasuk jalur Pantura Jawa. Nah, di jalan yang membentang dari selatan ke utara itu, jika kita berdiri di perbatasan Perbutulan-Sumber akan bisa dilihat dari perbatasan Perbutulan-Watubelah. Betapa kecilnya Perbutulan.

Menurut hikayat, kata Perbutulan berasal dari kata Butul yang artinya ‘bablas’. Hal ini dikaitkan dengan cerita para nenek moyang Perbutulan ketika membabat hutan untuk mendirikan perkampungan. Siapapun orang yang membabat hutan akan hilang, alias bablas atau butul. Maka sejak itu, wilayah itu dinamakan Perbutulan.

Pada awalnya, permukiman di Perbutulan terdiri atas beberapa gugus, dari selatan ke utara: Gondang, Kemuneng, Latar Tengah, Ledok, Keleben, Blok Singrat, dan Pesindangan. Namun kini, semua gugus itu telah menyatu menjadi satu permukiman. Tak lagi dipisahkan oleh kebun ataupun sawah. Di Latar Tengah itulah yang merupakan pusat aktivitas: balai desa, sekolah, dan masjid. Namun kini, balai desa yang berubah menjadi kantor kelurahan telah dipindah ke Blok Singrat.

Di masa lalu, warga Perbutulan umumnya berpendapatan dari kegiatan pertanian. Namun sejak bendungan untuk irigasi di hulu Sungai Cipager tak dibangun lagi setelah diterjang banjir, maka mata pencaharian penduduk berpindah ke perdagangan. Kini, kegiatan ekonomi mereka berpusat pada industri rumah tangga pakaian jadi (konveksi). Perintisnya adalah Solihin, seorang lulusan pesantren, yang memulai dengan membuat pakaian seragam SD. Hal itu terjadi sekitar tahun 1980. Namun kini pada umumnya berubah ke membuat pakaian wanita, terutama busana muslimah.

Warga Perbutulan memeluk agama Islam. Mereka dikenal sebagai masyarakat santri oleh warga dari desa-desa lain. Di sini terdapat dua pesantren, yang pertama dikelola oleh Abah Noor Zein, lulusan Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pesantrennya bernama Kampung Damai, yang merupakan terjemahan dari Darussalam, nama pesantren Gontor. Yang kedua diasuh leh Kiai Abdul Jalil, lulusan pesantren Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon.

Di Perbutulan, setiap pemilu selalu dimenangkan partai Islam, termasuk di masa represif Orde Baru. PPP selalu menang sekitar 90 persen. Di masa Reformasi ini yang terbesar menjadi PKB, lalu PPP dan PKS. Di masa Orde Lama, pada pemilu 1955, yang menang adalah Masyumi. Lalu pada pemilu pertama Orba, yang menang adalah Parmusi. Walaupun secara kultural mereka adalah nahdliyin (NU), namun Masyumi kuat karena faktor Aljam’iyatul Washliyah. Organisasi bermazhab Syafii ini, salah satu mazhab paling kuat di NU, berpusat di Medan, Sumatra Utara. Nah, Washliyah memang menginduk ke Masyumi, lalu Parmusi.

Al Washliyah memang sangat kuat di Perbutulan karena di wilayah ini awalnya cuma ada Madrasah Ibtidaiyah Al Washliyah (setingkat SD). Tak ada sekolah pemerintah. Sehingga hampir seluruh warga Perbutulan bersekolah di sekolah ini. Namun pada 1976, pemerintah kemudian mendirikan SD Inpres, di perbatasan Perbutulan-Watubelah. Mengapa diletakkan di perbatasan? Karena warga menolak yang berbau pemerintah. Ini wajar, karena mereka memilih PPP setiap pemilu, maka Perbutulan selalu dikucilkan oleh pemerintah. Namun secara perlahan, warga mulai sadar tentang kualitas sekolah. Maka walau terletak di perbatasan, banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya di SD Inpres. Maka tahap selanjutnya dibangun SD Inpres di Ledok, yang berada relatif di tengah, sebelah barat Latar Tengah. Maka sejak saat itu, mayoritas anak bersekolah di SD Inpres. Namun MI Al Washliyah tetap hidup dan makin maju. Bahkan pada 1979 berdiri SMP Al Washliyah, yang tetap kokoh hingga kini. Bahkan mendirikan TK Al Washliyah, yang merupakan TK terbaik di Sumber.

Dulu, di Perbutulan ada organisasi kepemudaan yang sangat hidup. Namanya Barbathuly. Tokohnya adalah Noor Zein. Mereka mengajarkan tentang keterampilan berorganisasi, dan berbagai kegiatan anak muda lainnya. Salah satu kegiatannya adalah Pengajian Umum yang dilakukan tiap bulan. Tempatnya di halaman sekolah Al Washliyah. Pengunjungnya selalu membludak dari berbagai desa. Setiap ulang tahun Barbathuly juga diadakan berbagai turnamen sepak bola, bola voley, tenis meja, kasidah, teater, khitanan massal, dan bakti sosial. Pesertanya dari berbagai desa. Dananya hasil sumbangan masyarakat, alias mandiri. Kegiatan ini sangat meriah. Tak ada acara serupa di desa-desa lain. Namun kemudian organisasi ini berantakan.

Perbutulan juga merupakan lokasi shooting film Harmonikaku serta Matahari-Matahari. Semuanya disutradarai Arifin C Noer. Maklum moyang Arifin berasal dari Perbutulan. Arifin masih kerabat Noor Zein. Film pertama dibintangi Fachrul Razi, film kedua dibintangi Marissa Haque. Saat shooting Harmonikaku, Jajang C Noer yang sedang hamil tua anak pertamanya, selalu menemani suaminya yang sutradara itu. Ia selalu duduk di samping kamera. Wajah Jajang masih tembem dan selalu berbedak tebal. Tak seperti sekarang. Dalam film Harmonikaku, anak-anak Perbutulan juga dilibatkan sebagai pemain figuran. Ceritanya, Fachrul, sang bintang cilik, berasal dari Desa Perbutulan sebelum berurbanisasi ke Jakarta. Nah, para pemain figuran itu sebagai teman mengaji Fachrul saat di kampung.

Kesuwun kanggo http://id.wikipedia.org sing wis tak cukil – cukil tulisane ning kene…matur kesuwun, Lud !

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 14, 2009 AT 4:51 AM KOMENTAR (2) 

Gegesik

Pangeran Gesang/Ki Gede Gesik berkedudukan di Gesik-Tengah Tani mempunyai tiga anak laki-laki dan satu orang anak perempuan yaitu Ki jagabaya, Ki Sumerang, Ki Baluran dan Nyi Mertasari. Ketika menginjak dewasa, keempat anak itu meminta untuk menguasai tanah cakrahan yang dimiliki ayahnya jauh sebelum dilaksanakan babad hutan.

Atas permintaan anak-anaknya itu Ki Gede Gesik mengadakan perundingan dengan Ki Kutub (Sunan Gunung Jati) dan Ki Sangkan (Ki Kuwu Cerbon) yang hasilnya diterima dan disetujui bersama. Ki Gede Gesik selanjutnya memerintahkan keempat anaknya untuk membagi tanah cakrahan miliknya yang terletak di bagian utara perbatasan tanah Cirebon disertai seorang utusan Ki Kutub yang bernama Ki Warga asal Danalaya, guna menyaksikan dan memberikan pertimbangan dalam pembagian tanah itu.

Setelah sampai di tanah cakrahan yang akan dibagikan, mereka menemui jalan buntu karena ketiga anak laki-laki mempunyai pendirian yang bertentangan dengan saudaranya yang perempuan. Ketiganya berpendirian bahwa pembagian untuk anak laki-laki harus berbeda dengan anak perempuan. Anak perempuan cukup mendapat bagian tanah sebesar payung. Tentu saja pendirian ketiga saudaranya itu ditentang Nyi Mertasari, karena menurutnya pembagian harus sama luas.

Pertentangan pendapat ini cukup memakan waktu lama dan kecil harapan dapat diselesaikan, sedang Ki Warga sendiri tidak sanggup mengatasainya. Oleh karena cukup lama tidak ada kabar berita, Ki Kutub sangat khawatir akan keselamatan Ki Warga dan selanjutnya memerintahkan Ki Panunggul asal Pajajaran menyusul ke tanah cakrahan untuk mengetahui keberadaan mereka.

Setelah mendapat keteragan Ki Warga bahwa pembagian tanah cakrahan belum terlaksana bahkan menimbulkan percekcokan, Ki Panunggul membuat kebijakan dengan mengadakan sayembara yang diterima semua pihak dimana Ki Panunggul bertindak sebagai juri dan Ki Warga saksi. Dikatakan oleh Ki Panunggul kepada mereka bahwa “ barangsiapa diantara mereka dapat menadatangkan jenis-jenis hewan isi hutan, maka tanah cakrahan ayahnya seluruhnya menjadi miliknya”.

Berturut-turut sayembara dimulai dari Ki Jagabaya dan terakhir Nyi Mertasari.

1.KI JAGABAYA Dalam waktu sekejap dapat menghadirkan kuda ekor panjang berkerocok baja, dan seekor anjing berbulu tebal.

2.KI SUMERANG Setelah tangannya menepak air sungai tiba-tiba menjadi kering (Kaliasat) dan muncul buaya putih yang cukup besar.

3.KI BALURAN Dengan tusukan jarinya ke dalam tanah muncullah seekor ular yang besar seperti pohon kelapa.

4.NYI MERTASARI  Menunjukan tangannya ke kanan dan ke kiri dengan menyebut banteng, singa, macan, badak, maka berdatanganlah binatang-binatang yang disebutnya itu.

Selesai melakukan sayembara, Ki Panunggul selaku juri melakukan penilaian seperti berikut: 1.Hasil Ki Jagabaya Kuda berekor panjang dan anjing berbulu tebal tidak dianggap hewan isi hutan melainkan hewan piaraan. 2.Hasil Ki Sumerang: buaya putih yang tidak kecil dianggap hewan laut. 3.Hasil Ki Baluran: ular sebesar pohon kepala dianggap hewan biasa dan terdapat di mana-mana 4.Hasil Nyi Mertasari: banteng, macan, singa dan badak dinyatakan benar tempatnya di hutan dan Nyi Mertasari dinyatakan sebagai pemenang sayembara.

Atas kemenangannya itu, seluruh tanah cakrahan dinyatakan sebagai hak milik Nyi Mertasari, sedang ketiga saudaranya tidak mendapat kekuasaan/hak atas tanah ayahnya itu sedikitpun. Setelah pernyataan dan penyerahan tanah pada Nyi Mertasari, Ki Panunggul bersama Ki Warga pulang untuk menyampaikan laporan kepada Ki Kutub mengenai segala sesuatu yang terjadai pada pembagian tanah cakrahan Ki Gede Gesik, sejak menemui jalan buntu hingga akhirnya diselenggarakan sayembara yang diterima dengan baik oleh Ki Kutub.

Ketiga anak laki-laki yang gagal/kalah dalam sayembara merasa menyesal dan kecewa (sesudah ditinggalkan Ki Panunggul dan Ki Warga). Tidak lama kemudian datanglah Ki Warsiki dari Kedungdalem menghampiri ketiganya dan menanyakan mengapa mereka terlihat gundah, murung dan sedih. Pertanyaan Ki Warsiki dijawab dengan terus terang, dan diceritakan oleh ketiga anak laki-laki Ki Gede Gesik itu dari awal sampai akhir. Setelah Ki warsiki mengetahui duduk persoalannya, ia menyarankan agar ketiga anak itu segera menghadap Ki Kutub supaya bersedia meninjau kembali keputusan sayembara yang dilakukan Ki Panunggul.

Saran Ki Warsiki diterima baik, akan tetapi mereka tidak berani langsung menghadap Ki Kutub. Mereka akhirnya meminta bantuan dan pertolongan Ki Warsiki untuk menghadap Ki Kutub menyampaikan ketidakpuasan atas hasil sayembara Ki Panunggul. Ki Warsiki menyatakan bersedia dan sanggup menghadap Ki Kutub, ia meminta diberi bagian tanah cakrahan sebagai tanda jasa. Dengan penuh keyakinan Ki Warsiki pergi menghadap Ki Kutub.

Sesampainya di Keraton, ia menyampaikan maksud kunjungannya dan menceritakan ketidakpuasan ketiga anak Ki Gede Gesik dalam pembagian tanah cakrahan dengan cara sayembara dan meminta pertimbangan Ki Kutub supaya meninjau kembali keputusan Ki Panunggul. Ki Kutub menyatakan bahwa hal itu bisa saja dilakukan, asalkan Nyi Mertasari sebagai pemenang tanpa paksaan bersedia berunding. Bukan main gembiranya Ki Warsiki setelah mendengar jawaban Ki Kutub. Kemudian Ki Warsiki menemui Nyi Mertasari dan membujuknya supaya mau berunding kembali bersama ketiga saudaranya dalam persoalan keputusan sayembara.

Atas pengaruh Ki Warsiki, Nyi Mertasari Menyatakan kesediaannya untuk meninjau kembali keputusan hasil sayembara, dan akhirnya Nyi Mertasari memberikan sebagian tanah cakrahan kepada saudara-saudaranya dan ia menentukan sendiri batas-batas tanah yang diberikan kepada ketiga saudaranya itu. Ki Jagabaya diberi tanah bagian sebelah utara, Ki Sumirang bagian selatan, Ki Baluran bagian barat laut, dan sisanya yang berada ditengah-tengah adalah bagian Nyi Mertasari sendiri.

Setelah pembagian tanah dapat diselesaikan dan diterima semua pihak, mereka kemudian berunding kembali dan menetapkan Ki Jagabaya sebagai Ki Gede Jagapura, Ki Sumirang sebagai Ki Gede Bayalangu, Ki Baluran sebagai Ki Gede Guwa dan Nyi Mertasari sebagai Nyi Gede Gesik. Ditetapkan pila Nyi Gede Gesik Sebagai pemimpin daerah itu, karena keunggulannya dalam sayembara.

Sesuai dengan janji untuk memberikan tanda jasa, Ki Gede Jagapura memberi tanah yang terletak di sebelah selatan jagapura blok situnggak. Ki Gede Bayalangu memberi tanah di blok sikacang, dan Nyi Gede Gesik walaupun tidak menjanjikan memberi tanah juga di blok sijinten. Adapun Ki Gede Guwa tidak memberi tanah, karena letaknya terlalu jauh. Sebagai gantinya Ki Warsiki meminta supaya Ki Gede Guwa bersedia memikul kebutuhan adat penduduk kedungdalem berupa gamelan panggung. Oleh karena itu hingga sekarang terdapat tanah bagian kedungdalem yang terpisah dari tanah kedungdalem, yaitu blok situnggak, sikacang, sijinten, dan blok panggung wayang.

Nyi Gede Gesik meskipun seorang wanita akan tetapi besar sekali hasratnya untuk menguasai tanah, hingga mengadakan perluasan dengan menebang hutan yang berada di tepi pantai sebelah timur laut dari daerahnya yaitu di daerah luwung (leuweung/hutan) Gesik (sekarang terletak dikecamatan krangkeng kabupaten Indramayu). Setelah Ki Kutub mengetahui Nyi Gede Gesik Bermaksud menguasai Luwung Gesik, ia melarangnya. Menurut Ki Kutub tanah itu khusus disediakan untuk para dedemit dan siluman. Oleh karena itu Nyi Gede Gesik tidak jadi melakukan perluasan.

Ki Panunggul sangat tertarik akan kecantikan Nyi Gede Gesik, dan bermaksud ingin menjadikannya istri. Atas saran Ki Warga, Ki Panunggul menemui Ki Lebe Embat-embat untuk menikahkannya, akan tetapi Ki Lebe tidak bisa memenuhinya dan disarankan untuk menemui Ki Lebe Bakung, kemudian Ki Lebe Bakung bersama Ki Panunggul berangkat menuju Gesik untuk melaksanakan perkawinan dengan Nyi Gede Gesik.

Dari perkawinan dengan Ki Panunggul Nyi Gede Gesik Mempunyai keturunan dua orang. Anak laki-laki diberi nama Raja Pandita, dan yang wanita tidak disebut namanya. Raja Pandita setelah dewasa disayangi oleh Ki Sangkan dan ditugaskan menjaga keamanan di daerah ibunya. Adapun anak wanita disayangi oleh ki Lebe Bakung, dan karena sayangnya Ki Lebe Bakung meminta pertimbangan pada Ki Warga untuk meniokahinya. Sambil tersenyum ki Warga mengatakan kepada Ki Lebe Bakung demikian “kapi asem temen apa ora lingsem pas ngawinaken m’boke, anake arep dikawin dewek”. Karena kata-kata itu Ki Lebe Bakung selanjutnya disebut Ki Lebe Asem.

Pada akhirnya terlaksana juga perkawinan dengan anak perempuan Nyi Gede Gesik tersebut. Dari perkawinan ini Ki Lebe Asem mempunyai keturunan dua orang anak laki-laki. Setelah dewasa kedua anak ini meminta orang tuanya untuk dapat menguasai daerah kekuasaan. Atas saran Ki Warga, tanah kekuasaan Nyi Gede Gesik dibagi dan diserahkan kepada kedua cucunya itu.

•Bagian dearah Karadenan kemudian menjadi Gegesik Kidul

•Bagian daerah Ketembolan kemudian menjadi Gegesik Lor Oleh karena itu Ki Lebe Asem mempunyai putra lagi sebanyak dua orang, tanah Nyi gede Gesik dibagi menjadi dua itu kemudian masing-masing dibagi dua bagian lagi.

Keradenan (GegesikKidul) menjadi Karacenan dan Kedayungan (Gegesik Wetan) ; Ketembolan (Gegesik Lor) menjadi Ketembolan dan Kecawetan (Gegesik Kulon). Sebutan tersebut menunjukan ciri-ciri pemimpin dan rakyat dari masing-masing desa sebagai berikut. Gegesik Kidul/Keradenan pemimpinnya bersifat keningratan, rakyatnya suka/pandai mengarang kata-kata(nganggit omongan). Pimpinan Gegesik Wetan/kedayungan menonjol dalam hal baik maupun buruk, rakyatnya suka beramai-ramai tanpa isi. Gegesik Lor/ketembolan pemimpinnya ditaati bawahan, rakyat senatiasa menggerutu dibelakang; sedangkan Gegesik Kulon/kecawetan pemimpinya disiplin,rakyatnya senantiasa menyerah tanpa bekas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar