Jumat, 12 Maret 2010








Mesjid Agung Cirebon, Penuh Cerita, Penuh Makna

Alkisah, saat masjid Cirebon hampir selesai didirikan, datanglah utusan dari Mataram Kuno bernama Menjangan Wulung. Lantaran tidak menyukai agama Islam, ia ingin menggagalkan pembuatan masjid itu. Ia lalu naik ke kubah masjid dan menyebarkan mantera yang menyebabkan kematian 3 muazin (tukang azan).

Ratu Mas Kadilangu, raja yang berkuasa saat itu, meminta para wali songo untuk menghentikan mantera itu. Sesudah bertarekat dan meminta pentujuk dari Allah, Sunan Kalijaga lantas menitahkan tujuh muazin untuk melantunkan azan secara bersamaan. Menurut cerita, pada waktu azan subuh dikumandangkan, dari kubah masjid terdengar ledakan; kubah hancur dan mantera Menjangan pun bisa dilumpuhkan. Ada juga yang mengatakan kubahnya terpental ke Masjid Agung Banten, yang menyebabkan Masjid Agung Banten memiliki dua kubah kembar. Karena itu, sampai sekarang, kumandang azan selalu dilakukan oleh tujuh orang muazin (azin pitu).

 Versi yang lain mengatakan, dulu ada wabah penyakit ganas yang melanda kota Cirebon. Untuk membasminya, Panembahan Ratu -raja yang memerintah saat itu- melepaskan tongkat saktinya. Secara tak sengaja, tongkat itu mengenai kubah masjid hingga kubahnya pun runtuh. Sejak saat itulah, masjid Cirebon tidak memiliki kubah lagi.

Dua kisah itu, yang menceritakan kenapa masjid Cirebon tak berkubah, hanya sebagian dari cerita dan mitos yang menggambarkan “keunikan” Masjid Cirebon, salah satu masjid tertua di Jawa. Masih banyak mitos dan cerita lain yang mengiringi masjid yang dikenal juga sebagai Masjid Sang Cipta Rasa.

Dibuat dalam Semalam

Masjid Sang Cipta Rasa, Masjid Agung Kasepuhan, atau Masjid Agung Cirebon terletak 100 meter barat laut Keraton Kasepuhan. Masjid ini dibangun setelah masjid Demak, yakni sekitar tahun 1489 Masehi atau ketika Sunan Gunung Jati berusia sekitar 41 tahun. Konon, menurut cerita rakyat setempat, pembangunan mesjid ini hanya memakan waktu satu malam; pada waktu subuh keesokan harinya telah dipergunakan untuk shalat Subuh.

Sunan Kalijaga yang bertindak sebagai penanggungjawab meminta Raden Sepat, arsitek dari Majapahit, membuat gambar dan ruang-ruang masjid. Raden Sepat merancang ruang utama masjid berbentuk bujur sangkar dengan luas 400 meter persegi dengan kemiringan 30 derajat arah barat laut.

Tak seperti masjid Demak dan Kudus, masjid ini tak memiliki menara. Ada alasan kuat kenapa menara tak dibuat. Pada saat itu, ketika muazin mengumandangkan azan, mau tak mau ia harus naik ke atas menara. Hal tersebut dianggap tabu dan bertentangan dengan adat Jawa yang melarang orang biasa duduk atau berdiri lebih tinggi dari raja.

Perpaduan Islam dan Jawa

Masjid ini terdiri dari lima ruang: 1 ruang utama, 3 serambi, dan 1 ruang belakang. Ruang utama Masjid Agung Cirebon dikelilingi oleh dinding bata setebal ½ meter dan memiliki sembilan pintu. Sembilan pintu itu melambangkan Wali Songo, 9 wali yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Pintu utama berukuran normal, terletak di timur. Delapan lainnya di samping kiri dan kanan, dengan tinggi sekira 1 meter. Pintu setinggi 1 meter ini akan “memaksa” orang membungkuk ketika melewatinya. Hal ini disengaja, sebagai simbol dari sifat rendah hati, sopan santun, dan hormat-menghormati.

Selain banyak menggunakan filsafat dari ajaran Islam, masjid ini juga mengadaptasi budaya Jawa dan Hindu. Hal itu tercermin dari atapnya yang berbentuk limas bersusun tiga. Terlepas dari mitos dan cerita yang ada, atap limas merupakan adaptasi dari atap Joglo yang banyak digunakan di rumah-rumah tradisional Jawa. Selain itu, pintu gerbang utama berbentuk seperti paduraksa (gapura beratap), yang banyak terdapat pada pintu masuk candi di Jawa, antara lain Candi Bantar.

Sayangnya, kini keadaan masjid yang pernah menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat ini kurang terawat. Padahal dulu, ketika akan meninggal, Sunan Gunung Jati berpesan pada rakyat Cirebon, “Ingsun titip tajug lan fakir miskin (Saya titip surau ini dan fakir miskin).”

 [ Dijukut sing Tabloid RUMAH, kesuwun ya Kang…]

 

DITERBITKAN DI:  ON NOVEMBER 28, 2009 AT 10:12 PM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Kegaiban ritual panjang jimat

Puncak acara (pelal) Panjang Jimat diselenggarakan di 4 tempat, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan dan Kompleks makam Sunan Gunung Jati.

Ki Nurteja, Dalang Keraton Kanoman mengungkapkan kegaiban yang sering terjadi dalam acara Panjang Jimat.

Dikisahkan, acara Panjang Jimat yang dihadiri ribuan orang itu ternyata juga dikunjungi makhluk gaib. Makhluk itu datang dan bercampur baur dengan manusia.

Makhluk-makhluk gaib itu tergolong jin muslim yang sudah di-Islam-kan oleh Pangeran Cakrabuwana dan Kanjeng Sunan Gunung Jati. Rupanya makhluk gaib itu juga ikut meramaikan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Menurut Ki Nurteja, dirinya sering mendengar cerita dari pengunjung yang datang ke acara Panjang Jimat. Mereka mengaku bertemu dengan sekelompok ‘orang’ yang berpakaian aneh dan berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti.

Kesuwun kanggo http://mystys.wordpress.com sing wis tak cukil tulisane… Kesuwun Kang!

DITERBITKAN DI:  ON FEBRUARI 25, 2009 AT 4:43 AM KOMENTAR (1) 

Tari Ronggeng Bugis

Tari Ronggeng Bugis adalah salah satu jenis tari Ronggeng yang hidup di kampung Buyut desa Buyut kecamatan Cirebon Utara kabupaten Cirebon. Kesenian ini muncul karena situasi politik yang bergejolak saat datangnya pengaruh Islam memasuki lingkungan Cirebon. Kesenian itu merupakan bentuk penyamaran laki-laki berpakaian dan berias wanita yang berpura-pura sebagai pengamen jalanan, padahal sebetulnya adalah pasukan telik sandi yang dilakukan oleh sahabat Sunan Gunung Jati dari daerah Bugis. Oleh karenanya bentuk kesenian itu disebut “Ronggeng Bugis”.

Kesuwun kanggo http://puslitmas.stsi-bdg.ac.id sing wis tak cuplik tulisane…

DITERBITKAN DI:  ON FEBRUARI 20, 2009 AT 7:53 AM KOMENTAR (1) 

antara Palembang dan Cirebon

Dari negeri China, Sunan Gunung jati kembali ke Cirebon bersama calon pengantennya, Puteri Ong Thien, lengkap dengan iring-iringan dua buah kapal Kekaisaran Ming.

Pengiring Sunan Gunung Jati dikepalai oleh Menteri Pai Lian Bang. Kapal yang dinaiki rombongan Sunan Gunung Jati berangkat lebih duluan. Lalu singgah di Sriwijaya, pada waktu yang bertepatan dengan wafatnya Adipati Aria Damar. Karena kedua putra Aria Damar sudah pergi ke Tanah Jawa maka tidak ada pengganti. Sunan Gunung Jati menyarankan kepada rakyat Sriwijaya agar muridnya yang bernama Pai Lian Bang yang masih berlayar di belakang diangkat sebagai pengganti Aria Damar.

Setibanya kapal Pai Lian Bang, penduduk Sriwijaya menyambutnya dengan gembira. Pai Lian Bang bersedia menjadi Adipati karena yang telah mengambil keputusan adalah gurunya yang sangat ditaati. Pai Lian Bang yang berpengalaman sebagai Menteri di Negeri Cina berhasil membangun Sriwijaya dengan segala kemampuannya.

Dia adalah guru besar ilmu ketatanegaraan. Banyak murid yang berjubel-jubel datang dari Tanah Jawa khusus untuk mengaji ke Pai Lian Bang yang terkenal brilian dan leket ibadah. Pesantren dan madrasah digalakkan. Setelah tilar dunya kadipaten Sriwijaya diubah namanya menjadi Palembang. Diambil dari nama Pai Lian Bang.

Kesuwun kanggo http://www.asiafunclub.com sing wis tak cukil tulisane… Kesuwun Kang!

DITERBITKAN DI:  ON FEBRUARI 16, 2009 AT 10:17 AM KOMENTAR (1) 

Terbelahnya kekuasaan keraton di Cirebon

Terbelahnya kekuasaan keraton di Cirebon berawal dari kisah unik tanpa pertumpahan darah. Pada 1662, Amangkurat I mengundang Panembahan Adiningkusumah datang ke Mataram untuk menghormati dan mempertanggungjawabkan sikapnya terhadap Banten dan juga Mataram.

Panembahan Adiningkusumah yang juga disebut Panembahan Girilaya bersama dua putranya memenuhi undangan tersebut. Namun mereka tidak boleh kembali ke Cirebon dan harus tinggal di Mataram. Meski demikian, mereka diberi tempat untuk tinggal serta diakui sebagai penguasa Cirebon.

Sejak Panembahan Girilaya dan kedua putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, berada di Mataram, pemerintahan sehari-hari di Cirebon dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta yang tidak ikut ke Mataram (1662-1667). Mereka juga berusaha membawa kembali Panembahan Adiningkusumah dan dua pangeran Cirebon itu.

Berkat usaha Pangeran Wangsakerta dibantu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, kedua pangeran bisa kembali ke Cirebon melalui Banten. Ketika Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya berada di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat mereka sebagai sultan di Cirebon dan menetapkan pembagian wilayah.

Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman. Sedangkan Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon, tetapi dia tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton.

[ Kesuwun kanggo Media Indonesia, sing wis tak cukil sebagian tulisane… Kesuwun Kang! ]

DITERBITKAN DI:  ON AT 9:57 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Tegal Alang Alang

Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya.

Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.

Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi yangsama .Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama Islam.

Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu.Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.

Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.

Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.

Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.

Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal.

Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini.

Kesuwun kanggo http://heritageofjava.com sing wis tak cuplik tulisane… Kesuwun Kang!

DITERBITKAN DI:  ON FEBRUARI 13, 2009 AT 8:46 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR

Senjakala ing Cerbon

Kedudukan Cirebon yang berada pada bayang-bayang pengaruh Mataram. ketika Amangkurat I berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677. Masa pemerin tahan yang ditandai dengan banyaknya pergolakan agaknya menjadi faktor penting mengapa Cirebon semakin menjadi lemah. Pada zaman Amangkurat I, penguasa Cirebon Panembahan Ratu II, cucu Panembahan Ratu, atas permintaan Mataram berpindah ke Girilaya. Kepergiannya dari Keraton’ Cirebon ke daerah dekat ibukota Mataram ini disertai oleh kedua puteranya, yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya. Sebagai penggan ti kedudukannya selaku Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling bungsu, yaitu Pangeran Wangsakarta.

Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662 Masehi. Sebelum meninggal beliau membagi kerajaannya menjadi dua yang diwariskan kepada kedua puteranya itu. Pangeran Martawijaya diangkat sebagai Panembahan Sepuh yang berkuasa atas Kasepuhan. Sedangkan Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan Anom yang berkuasa atas Kanoman.

Sementara itu, Raja Amangkurat I yang kurang bijaksana menimbulkan kebencian di kalangan istana dan penguasa-penguasa daerah yang lain. Dengan didukung oleh seorang pangeran dari Madura bernama Tarunajaya, sang putera mahkota mengadakan pemberontakan. Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak berhasil karena perpecahan antara keduanya.

Raja Amangkurat I kemudian meninggal di Tegalwangi setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada pihak pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan pcwaris tahta Cirebon kembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian kini di Cirebon bherkuasa tiga sultan, masing-masing Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Sultan Cerbon.

Sementara itu di Mataram sebagai akibat dari pemberontakan Tarunajaya, bertumpuklah hutang yang harus dibayarkan kepada pihak VOC-Belanda yang membantu Amangkurat I. Pihak Mataram membayar hutangnya itu dengan cara melepaskan pelabuhan-pelabuhan potensial beserta penghasilan yang amat menguntungkan itu kepada VOC.

Akibatnya lebih lanjut adalah penghapusan gelar Sultan dari penguasa Cirebon pada tahun 1681 Masehi. Sebagai gantinya, raja-raja Cirebon kembali pada gelar Panembahan yang sesungguhnya lebih rendah dari Sultan.

Pengganti Sultan Anom adalah putera bungsu. Sedangkan di Kasepuhan terjadi pembagian kekuasaan anatara Sultan Sepuh dan Sultan Cirebon. Ketika Pangeran Cirebon dibuang karena melawan Belanda, daerah kekuasaan nya diberikan kembali kepada Sultan Sepuh. Kemunduran Kesultanan Cirebon semakin meningkat sejak tahun 1773 Masehi. Setelah Panembahan terakhir wafat tanpa mewarisi keturunan, daerahnya kemudian menjadi terbagi-bagi dan dikuasai oleh para pangeran.

Kesuwun kanggo http://www.merbabu.com sing wis tak jukut tulisane, kesuwun Kang… !

DITERBITKAN DI:  ON FEBRUARI 10, 2009 AT 8:41 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR

Kapten Samadikun

Pada tanggal 5 Januari 1947 terjadi perlawanan Kapal Gajah Mada di Perairan Cirebon .

Sebuah “Coaster” berukuran 150 ton, berasal dari Singapura diubah bentuknya menjadi sebuah kapal perang dengan nama Gajah Mada, dan dijadikan Kapal Pimpinan ALRI Pangkalan III Cirebon.

Pada tanggal 1 Januari sampai dengan 5 Januari 1947 Gajah Mada memimpin latihan gabungan ALRI di bawah komandannya Letnan I Samadikun dengan Angkatan Darat di perairan Cirebon. Dalam latihan itu ikut pula empat buah kapal patroli pantai.

Pada tanggal 5 Januari 1947 pukul 06.00 ketika iring-iringan kapal berlayar kearah utara, di tengah jalan berpapasan dengan sebuah kapal buru torpedo Belanda, HMS Kortenaer yang memberi isyarat agar iring-iringan pesawat tersebut berhenti. Isyarat itu tidak diindahkan, oleh karena itu kapal Belanda melancarkan serangan. Untuk menghindarinya Letnan I Samadikun Komandan Kapal Gajah Mada memerintahkan kapal patroli pantai mengundurkan diri kearah barat.

Kapal Gajah Mada memutar haluan untuk menghadapi kapal musuh dan melancarkan tembakan balas dengan senapan mesin berat. Dalam tembak menembak itu sebuah peluru meriam musuh jatuh mengenai mesin kapal Gajah Mada. Kapal terbakar dan tenggelam. Komandan Kapal Letnan I Samadikun gugur.

Kesuwun kanggo http://www.sejarahtni.mil.id sing wis tak jukut tulisane…

DITERBITKAN DI:  ON FEBRUARI 6, 2009 AT 8:25 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Pedati Gede

BILA Anda pecinta wisata ke dunia antik, barangkali Cirebon salah satu pilihan. Bahkan barang-barang antik peninggalan zaman raja-raja di Cirebon merupakan barang-barang tertua di Jawa. Di Museum Keraton Kasepuhan Cirebon misalnya, bisa dilihat berbagai peralatan perang abad ke-14 dan ke-15 seperti baju antipeluru, meriam, bedil berlidi (penyocok mesiu) dari Mesir, bedil berlubang dua dari Portugis, dan ratusan benda antik lainnya dari Cina, Mesir, dan Thailand yang barangkali hanya ada di museum itu.

Di keraton itu pula bisa dilihat kereta yang tubuhnya mengingatkan pada gambaran tentang buraq, kepalanya gajah, dan bermahkota naga, yang disebut sebagai Kereta Singobarong. Kereta antik ini memiliki ukiran sangat halus yang mencerminkan paduan tiga budaya, yaitu budaya Cirebon terkenal dengan relief khas mega mendung, dan budaya negara sahabat Kerajaan Cirebon tempo dulu yaitu Thailand dan Mesir. Kereta buatan abad ke-15 ini masih tersimpan rapi di Museum Kereta.

Ada satu lagi yang sangat tua adalah Pedati Gede. Letak pedati ini tidak di keraton, tetapi di tengah perkampungan. Wisatawan yang ingin melihat pedati ini harus jalan kaki masuk ke lorong-lorong di perumahan padat di kawasan Gang Pedati Gede, Kelurahan Pekalangan, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon. Lorong-lorong itu berbelok-belok tajam. Karena itu sepeda motor atau becak yang lewat lorong ini harus dituntun agar tak terjadi tabrakan, jika bertemu di tikungan.

Melewati rumah-rumah permukiman penduduk yang rata-rata relatif sempit dan sederhana. Berjalan di antara meja kecil yang di atasnya bertumpuk berbagai makanan kecil yang dijajakan warga permukiman itu. Ya, setelah melewati tali jemuran yang saling silang, akhirnya sampailah pada suatu rasa yang sangat bertolak belakang.

Di tengah-tengah permukiman yang sangat padat, yang hanya memiliki lorong-lorong sebagai jalur transportasi sosial itu, ada pedati raksasa yang sangat indah bentuk dan strukturnya. Inilah Pedati Gede, sebuah pedati kuno yang dianggap oleh orang-orang di sekitarnya dianggap sebagai babonnya teknologi pedati yang pernah menjadi andalan transportasi di Jawa.

Pertanyaan yang segera muncul dalam benak, bagaimana pedati raksasa itu bisa berada di situ. Chaerul Salam dalam bukunya Pedati Gede terbitan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Kota Cirebon menulis: “Lokasi hanggar (garasi-Red) pedati gede ini amat tidak layak untuk sebuah benda cagar budaya yang bernilai tinggi. Namun masyarakat sekitar, sejak daerah itu masih berupa hutan belukar hingga kemudian menjadi permukiman ramai dan padat, telah merasa bahwa pedati gede adalah bagian dari mereka.”

Meskipun berulang kali muncul ide memindahkan alat transportasi berusia tua itu, tetapi ide ini tidak pernah terwujud. Masyarakat setempat tidak rela melepas pedati dari lingkungannya. Kini, Pedati Gede memang terkurung dalam hanggar sangat sederhana yang sama sekali tidak memadai untuk melindungi benda penyimpan sejarah itu.

Rayap menggerogoti keutuhan dan kelestarian pedati ini. Pada kebakaran hebat di kampung padat ini pada tahun 1932, sempat pula api menyembur pedati gede. Noda-noda hitam bekas terbakar tampak di roda-roda pedati ini.

***

BARANGKALI tak ada pedati di jagat ini memiliki ukuran raksasa seperti pedati gede ini. Panjang total pedati 8,6 meter, tinggi 3,5 meter dan lebar 2,6 meter. Pedati itu memiliki enam roda besar berdiameter 2 meter dan dua roda kecil berdiameter 1,5 meter. Panjang jari-jari roda besar 90 cm dan panjang jari-jari roda kecil 70 cm.

Pedati Gede adalah rancang bangun teknologi pada zamannya. Roda pedati ini dihubungkan oleh semacam as yang terbuat dari kayu bulat berdiameter 15 cm. As ini kemudian dimasukkan ke dalam poros yang dipasang di setiap roda, yang juga terbuat dari kayu.

Agar pertemuan as bisa licin bertemu dengan poros, digunakanlah pelumas yang menggunakan getah pohon damar. “Dengan getah itu putaran roda bisa lancar dan normal dan tidak mudah aus,” kata TD Sudjana, pemerhati sejarah klasik Cirebon.

Satu hal lagi yang luar biasa dari pedati ini, sistem rangkaiannya menggunakan sistem knockdown. Artinya, pedati ini bisa dibongkar pasang sesuai kebutuhan. Misalnya pedati ini membutuhkan rangkaian pedati yang lebih panjang lagi, tinggal secara cepat dipasang rangkaian pedati tambahan di belakangnya. Karena itu, mirip dengan kereta api, pedati ini bisa memiliki rangkaian panjang sesuai kebutuhan daya angkut. Pedati Gede ini dulu ditarik kerbau bule yang diyakini punya kekuatan lebih dibanding kerbau biasa.

Berdasarkan catatan tertulis yang dipelajari oleh Chaerul Salam maupun pangeran dari Keraton Kacirebonan, almarhum Pangeran Haji Yusuf Dendabrata, pedati ini dibuat tahun 1371. Bahkan Dendabrata menyebutkan, Pedati Gede ini dibuat pada masa pemerintahan Cakrabuwana di Cirebon yang waktu itu masih berbentuk ketumenggungan.

Pada awal abad ke-15 saat Sunan Gunungjati menjadi sultan pertama di Kesultanan Cirebon, Pedati Gede masih difungsikan. Pedati Gede teruji sebagai alat transportasi andal ketika kereta ini menjadi alat angkut bahan-bahan bangunan saat pembangunan Masjid Agung Ciptarasa tahun 1480. Masjid itu sekarang masih berdiri megah, artistik dan antik di sebelah kiri bangunan Keraton Kasepuhan.

Sampai pada pemerintahan Kesultanan Cirebon dipegang Panembahan Ratu I (1526-1649) penggunaan pedati seperti Pedati Gede ini makin berkembang. Masyarakat awam dengan mencontoh teknologi Pedati Gede, boleh membuat pedati sendiri sebagai alat transportasi.

Pedati Gede merupakan bentuk evolusi teknologi pedati pada zaman sebelumnya. Bahkan, beberapa sumber sejarah Cirebon menyebutkan, sejak abad ke-2 di Cirebon sudah ada pedati. Hanya bagaimana bentuknya, konstruksi teknologinya, tidak ada sumber tertulis yang menyebut. TD Sudjana menyebutkan, kata pedati, sejauh pengetahuannya, hanya tercantum dalam Kitab Raja-raja I karangan Wangsakerta, sekitar abad ke-15.

Kalau saja terhitung sejak abad ke-2 sudah ada pedati, maka sampai pada era Pedati Gede ini, sudah 15 abad perjalanan transportasi pedati. Bila dihitung hingga sekarang sudah 18 abad lebih. Kitab Raja-raja I menyebutkan, pada abad ke-2 Kerajaan Tarumanegara di daerah Cisadane, Bogor, saat itu diperintah Raja Purnawarman. Terjadi pemberontakan oleh adik Purnawarman bernama Sakiawarman. Sang adik ini ingin merebut takhta kakaknya dengan cara menghabisi seluruh keturunan Purna-warman.

Terjadilah pertempuran antara pasukan Purnawarman dan Sakiawarman, yang kemudian terdesak dan bersembunyi di wilayah Girinata (kini diperkirakan terletak di wilayah Palimanan, Cirebon). Karena itu merupakan wilayah Kerajaan Indraprasta, maka Purnawarman meminta bantuan kepada Wiryabanyu, Raja Indraprasta yang memang sudah lama terjalin hubungan baik.

Wiryabanyu yang memang berniat ingin menjadi besan Purnawarman, akhirnya menyerbu Sakiawarman. Pasukan Wiryabanyu dalam berangkat ke Girinata ini diceritakan menggunakan barisan pedati sebagai pengangkut pasukan. “Konon pedati itu juga bisa menjadi tameng dari serbuan-serbuan musuh,” kata TD Sudjana.

Pedati Gede menurut TD Sudjana diduga kuat merupakan babonnya pedati-pedati yang muncul kemudian di Jawa. “Untuk Cirebon, penggunaan pedati memang layak karena tanahnya yang becek. Pedati dengan roda kayu merupakan pilihan teknologi transportasi yang pas. Jika pedati terjerembab ke dalam lumpur, cara mengatasinya gampang. Roda yang masuk dalam lumpur diangkat dengan kayu, sementara kusir melecuti kerbau penarik untuk cepat berlari, dengan begitu jebakan lumpur bisa teratasi,” tegasnya.

Ya inilah sebuah kehebatan teknologi pada zamannya. Dan itu kreativitas orang Cirebon tempo dulu. (Th Pudjo Widijanto)

kesuwun kanggo http://www2.kompas.com sing wis tak jukut tulisane… Kesuwun Kang…

DITERBITKAN DI:  ON FEBRUARI 5, 2009 AT 2:49 AM KOMENTAR (1) 

Kisah Raja Madenda

Pemerintah Hindia Belanda pusing. Niat mereka untuk berkuasa sepenuhnya di tanah Cirebon selalu saja mentok karena tentangan dari Pangeran Raja Kanoman, putra Sultan Anom IV yang bertahta di Keraton Kanoman pada tahun 1803.

 

Di saat yang sama di negeri Belanda nun jauh di seberang lautan, kekuasaan sedang beralih. Negeri Belanda diduduki Prancis dengan panglima perangnya, Napoleon. Maksud hati ingin berkuasa mutlak di kota pelabuhan penting bernama Cirebon, pemerintah Hindia Belanda malah kehilangan basis kekuasaannya sendiri.


Namun, rencana tetap dilakukan. Toh, Deandels sebagai penguasa baru utusan Prancis tidak mengganti seluruh pejabat Belanda di negeri ini.


Setelah sang Sultan Anom IV, penguasa Keraton Kanoman wafat, Belanda mulai melancarkan siasat busuk yang selalu saja mengena diterapkan di tanah jajahan termasuk di Jawa ini, devide et impera.

 
Seharusnya tahta segera diisi oleh sang putra mahkota, Pangeran Raja Kanoman. Namun, sebagai ”penguasa sesungguhnya” tentu saja Belanda tak ingin Pangeran Raja Kanoman yang naik tahta. Belanda malah melantik putra Sultan Anom IV yang lain, Abu Sholeh Imaduddin, sebagai Sultan Anom V.


Kerajaan pun geger dan rakyat terpecah. Rakyat jelas lebih mendukung Pangeran Raja Kanoman sebagai sultan mereka yang sah. Pangeran pun daripada terkukung di dalam keraton lebih baik keluar dari lingkungan Keraton Kanoman dan bergabung dengan para pemberontak.
Keadaan malah makin memanas. Tak ada jalan lain Pangeran Raja Kanoman harus ditangkap. Belanda pun menangkapnya dan membawa sang pangeran ke Batavia. Batavia dekat dengan Banten, Banten adalah sekutu ”sedarah” dengan Cirebon. Tentu saja, perlawanan membebaskan Pengeran ini terjadi di Batavia. Keadaan makin ricuh, rakyat sudah kehilangan simpati pada Sultan ”boneka” buatan Belanda alias Sultan Anom V.


Dibuanglah Pangeran ke Ambon. Harapannya, jika pangeran nan flamboyan ini dibuang jauh dari tanah Jawa, maka rakyat akan merasa kehilangan target untuk diperjuangkan dan daya juang pun menurun.


Lagi-lagi Belanda salah. Perang malah makin tak terkendali. Pemerintah Hindia Belanda makin kewalahan menghadapi perlawanan ”para pemberontak”.


Deandels tentu kesal dengan kebijakan ”para anak buahnya” ini. Kebijakan dikeluarkan. Pangeran Raja Kanoman harus dibawa kembali ke sini, Cirebon. Gubernur Laut Timur Jawa Engelhard pun pada tanggal 1 Januari 1808 diperintahkan untuk menjemput Pangeran Raja Kanoman di Ambon.


Sementara di Cirebon sendiri, keraton baru disiapkan pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat Pangeran Anom bertahta. Pada 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan Carbon Kacirebonan. Rakyat pun mengelu-elukan Sultan baru ini. Cirebon pun akhirnya resmi memiliki tiga keraton, Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.


Jangan dikira pengangkatan ini sesuatu yang ikhlas. Segala aturan dibuat Deandels khusus untuk Kasultanan Kacirebonan. Reglement dikeluarkan untuk mengatur hak dan kekuasaan kesultanan baru ini sehingga kesultanan baru itu hanyalah ”hiasan” belaka. Intinya kekuasaan politik sang Sultan, termasuk Sultan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dihapus. Mereka hanyalah pegawai pemerintah biasa dan diberi gaji.


Namun, hawa perlawanan tak juga surut. Sultan Carbon tetap berjuang walau hanya dengan mengawasi perjuangan yang dilakukan rakyat. Wujud pemberontakan Sultan Carbon adalah ia tidak mau menerima gaji dari pemerintah Hindia Belanda sampai akhir hayatnya.
Pemerintah penjajah tak mau kehilangan muka. Status Sultan Carbon Kacirebonan tak ada lagi untuk penerus tahta. Statusnya diturunkan menjadi Raja Madenda. Gelar ini kalah gengsi dengan dua kesultanan yang lain, Kasepuhan dan Kanoman.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar