Jumat, 12 Maret 2010


Kereta Singa Barong

MESKIPUN Keraton Kasepuhan yang didirikan oleh Sunan Gunungjati merupakan kerajaan Islam, namun kereta Singo Barong buatan tahun 1549 atas prakarsa Raja Cirebon Panembahan Ratu Pakungwati I (1526-1649), adalah bukti betapa terbukanya Cirebon tempo itu dalam pergaulan antarbangsa, yang sama sekali tidak mengindahkan suku, ras, atau agama.


Kereta Singa Barong yang sampai kini masih terawat bagus itu, merupakan refleksi dari persahabatan dengan bangsa-bangsa. Wajah kereta ini merupakan perwujudan tiga binatang yang digabung menjadi satu, gajah dengan belalainya, bermahkotakan naga dan bertubuh hewan burak. Belalai gajah merupakan persahabatan dengan India yang beragama Hindu, kepala naga melambangkan persahabatan dengan Cina yang beragama Buddha, dan badan burak lengkap dengan sayapnya, melambangkan persahabatan dengan Mesir yang beragama Islam.


Kereta ini orisinal buatan para ahli kereta Keraton Kacirebonan. Ini penggambaran bahwa pengetahuan teknologi orang Cirebon tempo dulu cukup tinggi. Ini sekaligus merupakan kelebihan Kerajaan Cirebon dibanding keraton-keraton sebelumnya atau sesudahnya, yang mengimpor kereta dari Inggris, Belanda, atau Perancis. Kereta ini cukup layak dalam segi teknologi kereta yang merupakan titihan (kendaraan) raja-raja.


Singa Barong telah mengenal teknologi suspensi dengan menyusun pir (pegas) lempengan besi yang dilapisi karet-karet pada empat rodanya. Dengan teknologi suspensi ini, di samping kereta bisa merasa empuk, badan kereta juga bisa bergoyang-goyang ke belakang dan ke depan. Bergoyangnya tubuh kereta ke depan dan ke belakang bisa membuat sayap kereta bergerak-gerak. Itu sebabnya jika kereta ini berjalan, binatang bertubuh burak, berkepala gajah, dan bermahkota naga itu tampak seperti terbang. Terlihat megah ketika sang raja sedang berada dalam kereta itu.


KERETA ini dibuat oleh seorang arsitek kereta Panembahan Losari dan pemahatnya Ki Notoguna dari Kaliwulu. Pahatan pada kereta itu memang detail dan rumit. Mencirikan budaya khas tiga negara sahabat itu, pahatan wadasan dan megamendung mencirikan khas Cirebon, warna-warna ukiran yang merah-hijau mencitrakan khas Cina.


Tiga budaya (Buddha, Hindu, dan Islam) itu menjadi satu digambarkan prinsip trisula dalam belalai gajah. Tri berarti tiga, dan sula berarti tajam. Artinya, tiga kekuatan alam pikiran manusia yang tajam yaitu cipta, rasa, dan karsa. Cipta, rasa, dan karsa dimaksudkan sebagai kebijaksanaan berasal dari pengetahuan yang dijalankan dengan baik.


Kereta ini dulu digunakan oleh raja untuk kirab keliling Kota Cirebon tiap tanggal 1 Syura atau 1 Muharram dengan ditarik empat kerbau bule. Penggunaan kereta untuk kirab yang berlangsung setahun sekali itu berlangsung turun-temurun, mulai Panembahan Ratu Pakungwati I (1526-1649). Kereta ini baru berhenti digunakan untuk kirab tahun 1942, karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan lagi.


Kereta itu kini tersimpan di museum kereta yang terletak di sisi bangunan Taman Dewandaru Keraton Kasepuhan Cirebon. Kereta ini benar-benar tidak diperbolehkan lagi keluar, dalam acara apa pun, selain dibersihkan setiap bulan Syura atau Muharam. Bahkan, ketika dilakukan pameran antarkeraton se-Indonesia di Cirebon beberapa tahun lalu, yang dipamerkan adalah duplikat kereta yang bentuk maupun rupanya mirip.


KERETA Singa Barong menunjukkan ketulusan seorang raja seperti Panembahan Ratu Pakungwati I, raja keempat Kesultanan Cirebon itu. Karya untuk pribadi, seperti kereta itu, tidak direka dengan semata-mata imaji selera, tetapi juga didasarkan pada rasa. Rasa persahabatan dengan bangsa lain yang begitu melekat dihatinya dimanifestasikan dalam bentuk kereta itu.

 

Kesuwun kanggo http://aryfsaipudin.blogspot.com sing wis tak cukil, lan tak jukut sebagian tulisane… matur kesuwun sanget, Kang…

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 9, 2009 AT 9:27 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Wulan Sapar ( Saparan )

Saparan atau Safar adalah bulan ke dua dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Bulan ini di percaya masyarakat adalah bulan musim kawin hewan, atau khewan sing pada kawin seperti anjing (asu), sehingga di bulan ini sebaikanya tidak dilakukan acara pernikahan atau masyarakat Cirebon mengenal bulan larangan untuk melakukan pernikahan. Disamping itu juga bulan sapar dikenal dengan bulan yang sering terjadi malapetaka atau wulan sing akeh sial (blai) khususnya hari rabu terakhir di bulan ini atau orang Cirebon mengenal dengan istilah “Rebo Wekasan”.

 

Asal usul keyakinan ini juga belum jelas tapi dari beberapa sumber yang di yakini masyarakat bahwa si hari rabu terakhir di bulan Sapar ini lah banyak terjadi bala. Sehingga di percaya untuk mencegah bala ini kita di anjurkan melakukan sholat 4 rokaat dengan bacaan surat Al-kautsar sebanyak 17 kali di rokaat pertama, Surat Al-Ikhlas sebanyak 5 kali di rokaat ke dua, Surat Al-Falaq di rokaat ke tiga dan Surat An-nas di baca satu kali di rokaat yang ke empat dan di akhiri dengan membaca do’a Asyura.


Masyarakat Cirebon percaya di bulan ini untuk menghindari melakuakn perjalanan jauh, perkerjaan yang cukup berbahaya. Dianjurkan di bulan ini banyak membantu orang lain dan memperbanyak sedekah khususnya untuk anak-anak yatim, para janda tua dan kaum jompo, dilain itu pula kita lebih meningkatkan dan mempererat tali silaturahmi diantara sesama. Berkaitan dengan ini maka masyarakat Cirebon selama bulan ini melakukan 3 macam kegiatan yang dikenal dengan 
“Ngapem, Ngirab dan Rebo Wekasan”.

 

Ngapem berasal dari kata Apem yaitu berupa kue yang terbuat dari tepung beras yang di fermentasi. Apem dimakan disertai dengan pemanis (Kinca) yang terbuat dari gula jawa dan santan. Umumnya masyarakat masih melakukan ini dengan membagi-bagikan ke tetangga yang intinya adalah bersyukur (Selametan) di bulan sapar yang kita terhindar dari malapetaka. Pesan yang di ambil dari Apem dan Kinca ini juga melambangkan kita untuk lebih memperhatikan fakir miskin , tetangga dan kerabat dekat untuk lebih mempereart tali silaturahmi karna di bulan ini penih dengan malapetaka. Apem juga melambangkan diri kita, pada saat kita memaknnya harus di celupkan di kinca yang melambangkan darah dan juga mengingatkan kita adanya kemungkinan diri kita akan terkena musibah.

 

Ada juga cerita dari beberapa sumber bahwa tradisi ngapem ini berasal dari keraton yang sering membagi-bagikan apem di bulan ini, ada juga diartikan pada masa penjajahan belanda di cirebon bahwa apem melambangkan belanda yang harus di musnahkan dari cirebon dengan memasukan apem ke dalam kinca.


Bulan Safar yang diyakini bulan yang penuh malapetaka yang kemungkinan bisa terjadi di antara kita. hal ini konon di yakini bahwa Sunan kalijaga untuk mencegah kemungkinan datangnya Rebo Wekasan beliau mandi di Sungai Drajat pada saat berguru pada Sunan Gunung Djati untuk membersihkan diri dari bala di hari Rebo Wekasan. Hal ini akhirnya di ikuti oleh masyarakat pada saat itu dan dijadikan adat oleh masyarakat Cirebon. Hingga kini masyarakat Cirebon di hari Rebo Wekasan mengunjungi petilasan Sunan Kalijaga. Dengan menggunakan perahu mereka menuju kalijaga dan melakukan mandi di tempat yang di yakini dulu Sunan kalijaga mandi. Adat ini disebut dengan “Ngirab” yang artinya bergerak atau menggerakan sesuatu untuk membuang yang kotor. Beberapa masyarakat masih meyakini adat ini dengan dengan serius secara sepiritual, akan tetapi kebanyakan orang hanya untuk rekreasi dan bersenang-senang saja untuk melupakan bulan yang penuh bala ini.


Semua kegiatan di bulan Sapar ini belumlah lengkap bila tidak di akhiri dengan Rebo Wekasan yang merupakan hari yang sangat penting. Selepas Isya hingga Shubuh merupakan pergantian hari yg biasanya di pagi hari banyak anak-anak yang berkopiah dengan sarung yang di kalungkan ke badannya akan keliling dari rumah ke rumah untuk mensenandungkan nyanyian 
“Wur tawur nyi tawur, selamat dawa umur…” yang artinya ” Bu, bagikan lah sesuatu ke kami semoga selalu sehat/aman dan panjang umur…” artinya bebas/selamat lah anda setelah hari Rebo terakhir ini. Bisanya si empunya rumah akan menanyakan ” Sing endi cung?” terus akan di jawab oleh mereka dari pesantren atau dari daerah mana mereka tinggal…Mereka biasanya berkelompok minimal dua atau tiga orang dan kadang berlima.


Ada juga sumber sejarah yang mengatakan bahwa anak-anak tawurji ini berasal dari pengikut Syeikh Lemahabang/Syeh Siti Djenar alias Syeikh Datuk Abdul Djalil alias Syeikh Jabaranta. Berdasarkan sejarah dari para orang terdahulu bahwa Syek Siti Djenar ini dulunya bagian dari para Wali hanya beliau mengajarkan sesuatu yang membuat orang lupa/mengesampingkan Syariat. sehingga beliau konon di adili oleh dewan Walisongo di Masjid Agung Cirebon dan di eksekusi oleh Sunan Kudus dengan menggunakan keris Kantanaga milik Sunan Gunung Djati.

 

Setelah beliau wafat jasadnya di makamkan di Kemlaten. Setelah wafatnya Syeikh Lemah Abang para pengikutnya (Abangan) sangatlah sedih, maka usul Sunan Kalijaga atas persetujuan Sunan Gunung Djati dengan Rebo Wekasan ini di anjurkan untuk berdoa, memberi selamat dari setiap rumah ke rumah agar selalu dilindungi oleh yang maha kuasa dan mereka di santuni dengan memberikan uang jajan karna tidak ada lagi yang mengasuh mereka.

 

Kesuwun kanggo http://carubannagari.blogspot.com sing wis tak jukut tulisane, matur kesuwun sanget Kang…

Azan Pitu di Masjid Sang Cipta Rasa

PANGGILAN shalat telah dikumandangkan dari Masjid Sang Cipta Rasa. Ini berarti ajakan bagi tiap umat yang bermukim di sekitar masjid untuk merunduk dan bersujud menyembah Allah telah tiba.

NAMUN, berbeda dengan azan di masjid mana pun, azan di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Kasepuhan Cirebon) bukan sekadar dilantunkan seorang muazin, apalagi sekadar bebunyian rekaman kaset belaka, tetapi dilantunkan langsung oleh tujuh (pitu) muazin.

Sebagaimana layaknya sebuah masjid agung, Masjid Sang Cipta Rasa yang dibangun pada tahun 1500-an oleh Wali Songo menjadi “kiblat” masyarakat Cirebon untuk beribadah, terlebih di bulan Ramadhan ini.

Masjid ini dibangun atas petunjuk Sunan Kalijaga, dengan melibatkan 500 tenaga kerja dari Cirebon, Demak, dan sisa punggawa Majapahit.

Saat itu, Sunan Kalijaga dibantu Raden Sepat, arsitek dari Majapahit, seorang yang menjadi tawanan perang Demak-Majapahit, dan diboyong Sunan Gunung Jati, salah satu senopati Demak dan Wali Songo.

Sebagai “kiblat” umat Islam Cirebon, tidak heran bila satu hingga dua jam sebelum tiba waktu shalat Jumat, masjid ini telah dipadati umat.

Namun, sesuai tradisi, sebuah lajur tepat di tengah masjid yang berhadapan langsung dengan imam selalu dikosongkan. Dan, di tempat itulah para awak azan pitu nantinya akan menunaikan tugas.

Satu demi satu, ketujuh muazin akan memasuki masjid dari salah satu pintu utara masjid. Secara keseluruhan, masjid ini memiliki sembilan pintu sebagai lambang sembilan wali.

Bersorban putih, berjubah hijau, dengan janggut di dagu, ketujuh muazin berjalan mencapai tempatnya, disertai sambutan jabat tangan umat.

Setelah bersimpuh, sesekali mereka akan “mengiring” umat untuk berzikir sebelum waktu shalat tiba.

Namun, setelah hampir tiba waktu shalat, berdirilah mereka bertujuh dan melantunkan azan. Dan, biasanya pada waktu tersebut, Sultan Kasepuhan beserta keluarga akan memasuki masjid untuk menempati bangsal bagi anggota kerajaan.

MENURUT Khatib Agung Masjid Sang Cipta Rasa, Kyai Hasan M, pada saat masjid dibangun para wali, masyarakat setempat belum memeluk agama Islam. Masyarakat masih memeluk agama Buddha dan Hindu, bahkan ada yang tidak beragama.

Maka, ekses dari pembangunan sebuah masjid adalah sikap penolakan masyarakat setempat.

“Saat itu, terjadi kematian tiga muazin secara berturut-turut. Kematian mereka dirasa aneh dan diduga terkena guna-guna atau kekuatan metafisis tertentu,” kata Hasan.

Rapat pun digelar para Wali Songo. Akhirnya mereka bersujud dan berdoa kepada Allah untuk meminta petunjuk. Sunan Kalijaga yang menerima wahyu Allah kemudian menitahkan agar azan dilakukan oleh tujuh muazin sekaligus.

Alhasil, pada waktu shalat subuh, ketika adzan dikumandangkan tujuh muazin, dari kubah Masjid Sang Cipta Rasa terdengar suara ledakan.

“Hancurlah Aji Menjangan Wulung, sang penunggu masjid oleh suara ketujuh muazin,” kata Hasan. Dengan demikian, mulai saat itu Masjid Sang Cipta Rasa terbebas dari pengaruh gaib yang menghalangi umat Islam untuk berkembang.

Hasan mengisahkan, saat terjadinya ledakan, kubah masjid “terbang” terpental hingga Banten sehingga layaklah bila Masjid Agung Banten memiliki dua kubah.

Dia menjelaskan bahwa peristiwa itulah yang menjadi akar penyebab tidak dimilikinya kubah oleh Masjid Sang Cipta Rasa.

Namun, penduduk setempat memiliki kisah tersendiri. Menurut mereka, asal-muasal azan pitu berasal dari adanya kelompok masyarakat di sekitar Masjid Sang Cipta Rasa.

Untuk memenuhi asas keadilan, terutama pihak mana yang berhak melantunkan azan, maka para wali sepakat menunjuk seorang wakil dari masing-masing kelompok untuk menjadi muazin.

Menanggapi dua versi azan pitu, Hasan tetap beranggapan bahwa kisah versi dialah yang benar. (HARYO DAMARDONO)

Kesuwun kanggo http://www2.kompas.com sing tak jukut tulisane…kesuwun Kang!

DITERBITKAN DI:  ON AT 8:40 AM KOMENTAR (2) 

Menelusuri Bukti Keberadaan Kerajaan Mertasinga

Sejarah Kerajaan Mertasinga, merupakan bagian dari rangkaian asal-usul Kesultanan Cirebon. Sisa peninggalan kerajaan, berupa Lawang Gede Si Blawong, yang sampai sekarang masih bisa di lihat di Desa Mertasinga, Kec. Suranenggala, Kab. Cirebon.

Menurut Budayawan dan Sejarawan Cirebon, Kartini, yang juga tinggal di desa Mertasinga, Lawang Gede merupakan bukti peninggalan sejarah berdirinya kerajaan Mertasinga di masa lalu. Konon, beberapa abdi dalem keraton Cirebon pada awal abad ke– 17, merasa tidak nyaman tinggal di dalam Istana, karena dominasi pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena itu, beberapa pangeran yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, termasuk di antaranya Pangeran Suryanegara lebih memilih meninggalkan keraton.


Pangeran Suryanegara kemudian pergi ke arah utara dan tinggal secara berpindah-pindah. Di setiap daerah yang di singgahinya, Pangeran Suryanegara mengajarkan Agama Islam dan mengembangkan bidang pertanian. Menurutnya, kalau rakyat makmur Negara aman.


Hidup Pangeran Suryanegara selalu di kejar-kejar pasukan Belanda dan Pasukan Keraton Cirebon yang sudah di pengaruhi Belanda. Di Desa Krangkeng yang letaknya sekarang di wilayah perbatasan Indramayu-Cirebon, Pangeran Suryanegara mendapat dukungan Nyi Lodaya yang di anggap masyarakat sebagai penguasa laut utara dan merajai bangsa Siluman.


Tempat yang pernah di singgahi Pangeran Suryanegara antara lain Desa Bulak Kec. Jatibarang kab. Indramayu, Desa/kec. Jati Tujuh Kab. Majalengka, Desa Lemah Tamba Kec. Panguragan Kab. Cirebon, Pagertoya dan berakhir di Mertasinga.
Sewaktu singgah di desa Bulak, dia mendapati usaha pertaniaan di desa setempat kurang berhasil karena kekurangan air. Maka bersama warga setempat kemudian di buatlah sebuah penampungan air(DAM). Demikian juga ketika dia singgah di sebuah desa yang sekarang bernama Pagertoya.


Pangeran Suryanegara merupakan penggerak pemberontakan rakyat terhadap kolonialisme Belanda yang memicu terjadinya perang Kedongdong(1753-1773). Perang Kedongdong sendiri, menurut Kartini, terjadi akibat pertentangan yang terjadi antar abdi dalam istana yang di adu-domba kolonialis. ”Kedongdong sendiri merupakan pengibaratan buah kedongdong yang bagus di luar tapi ruwed di dalamnya,” kata Kartini.

Namun kebetulan salah satu basis pasukan Pangeran Suryanegara ada yang berada di desa Kedongdong Kec. Susukan dan kebetulan di sana pernah terjadi ledakan pemberontakan sehingga sebagian orang mengaitkan perang Kedongdong dengan desa Kedongdong Kec. Susukan. Pemberontakan kedua terjadi antara tahun 1818 hingga 1845, di pimpin Ki Bagus Serit.


Mertasinga juga menurut Kartini di duga merupakan bekas pusat kerajaan Singapura yang pernah ada di Cirebon. Singapura bermakna kota berbagai bangsa. Hal tersebut dapat di lihat dari posisinya sebagai daerah yang wilayahnya berada di tepi pantai dan memiliki pelabuhan yang sangat ramai serta di singgahi kapal-kapal yang berlabuh di Muara Jati. Singapura terletak kira-kira 2 kilometer sebelah utara negeri Surantaka, Sebelah barat dengan negeri Wangiri, sebelah utara dengan negeri Japura dan sebelah timur dengan laut Jawa. Sedangkan pusat pemerintahannya berada di desa Mertasinga.


Saat ini Lawang Gede, ramai di kunjungi para peziarah yang datang dari berbagai tempat di wilayah Cirebon. Bahkan tempat ini di jadikan sebagai tempat nyepi bagi mereka yang sedang mendapatkan kesusahan maupun mereka yang ingin meraih keinginan tertentu. Tempat ini di anggap keramat oleh sebagian masyarakat. Setiap tahun, tepatnya tanggal 1 Syuro, tempat ini ramai di kunjungi orang. Bahkan warga setempat menggelar peringatan 1 Syuro sebagai hari ulang tahun Cirebon secara meriah. Dalam kesempatan itu pula di bacakan sejarah Mertasinga.



Matur kesuwun kanggo : Mitra Dialog, Sabtu,8 maret 2008

DITERBITKAN DI:  ON JANUARI 8, 2009 AT 9:43 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Sejarah Trusmi

Sepintas orang mengenal Trusmi hanya kerajinan batik tulisnya. Teryata bila dilongok lebih jauh di Trusmi banyak menyimpan nilai budaya, Komplek pekuburan keramat, acara tradisional yg unik seperti arak-arakan, memayu, buka sirap

Letak geografis Trusmi terbilang strategis. Diperkirakan 1,3km dari Jl.Raya Plered ke arah utara ( Pantura,Cirebon-Bandung )


Menurut Masduki Sarpin, penulis kisah masyarakat Cirebon, dulu sekitar abad 14 setelh Sunan Gunungjati dinobatkan sebagai Sultan di Cirebon syiar Islam berkembang dengan pesat. Kira-kira 8km kearah barat Cirebon ada sebuah pedukuhan (nantinya dinamakan Trusmi) yang di huni seorang gegeden sakti yang mandra guna penganut agama Sanghyang bernama Ki Gede Bangbangan (salah satu nama blok di Trusmi yaitu, blok Bangbangan).


Sunan Gunungjati beserta Mbah Kuwu Carbon berniat mengislamkan Ki Gede tersebut, namun sebelum niatnya itu dilaksanakan, secara batiniah Ki Gede Bangbangan sudah mengetahui, dengan kesaktiannya ia mencipta hutan belantara di sekitar pondoknya jadi lapangan yang luas dan bersih. Ketika sedang menikmati hasil karyanya yang dilaksanakan sekejap mata itu, tiba-tiba datang suara “Assalaa mu’alaikum…” ia terkejut, di barengi dengan trubus (tumbuhnya) pepohonan yang ada disekitar pondoknya, kembali menjadi hutan belantara. Suara itu tak lain dari Sunan Gunungjati dan Mbah Kuwu Carbon. Ki Gede Bangbangan merasa tak berarti dihadapan mereka, kemudian masuk islam. Sunan Gunungjati di kawinkan dengan Nyi Mas Kendingsari, putri Ki Gede tersebut. Selanjutnya pedukuhan itu dinamakn “TRUSSEMI”terus bersemi, Trus berati trubus(tumbuh lagi) dan Semi diartikan sempurna. Dan sekarang disingkat “Trusmi”

Kesuwung kanggo http://santo.jw.lt sing wis tak jukut tulisane…matur kesuwun Kang!

DITERBITKAN DI:  ON AT 9:38 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Asal usul Desa Kepunduan

Kepunduan adalah sebuah desa di kecamatan Dukupuntang kabupaten Cirebon. dengan jumlah penduduk pada tahun 2003 kurang lebih 1500 jiwa. Mata pencaharian penduduk Kepunduan adalah tani dan dagang. Bahkan beberapa tahun belakangan, ini warga desa Kepunduan terserang wabah dagang nasi uduk. Batas-batas desa Kepunduan diapit oleh dua sungai dan dua desa. sebelah barat berbatasan dengan Warugede dan sebelah timur berbatasan dengan sungai Kedawung, sebelah selatan berbatasan dengan desa Cangkoak dan sebelah utara berbatasan dengan Sungai Cimanggung.

Asal-usul Desa Kepunduan

Pada masa ketika kesultanan Cirebon dipimpim oleh Gusti Sinuhun Syarif Hidayatullah dan istrinya Nyi Mas Pakungwati. Pada suatu ketika, Nyi Mas Pakungwati jarang bertemu dengan suaminya, yaitu Gusti Sinuhun Syarif Hidayatullah. Hal ini dikarenakan suaminya sebagai pemimpin kesultanan Cirebon dan juga sebagai waliullah yang bertugas mengembangkan agama Islam.

Untuk menghilangkan kejenuhannya, Nyi Mas pakungwati pergi ke barat hingga ke daerah Warugede. Nyi Mas Pakung Wati pergi karena pundung ( sunda ) yang artinya meninggalkan rumah karena rasa kekesalan terhadap suami. sambil menenangkan pikiran, akhirnya Nyi Mas Pakungwati memutuskan untuk menetap sementara di suatu perkampungan. Oleh masyarakat setempat daerah tersebut diberi nama Kepunduan, dari kata sunda ” Pundung ” yang  kemudian menjadi sebuah nama desa yang disebut Kepunduan yang termasuk wilayah kecamatan Dukupuntang dan Kabupatennya Cirebon

Pengikut Nyi Mas Pakungwati diantaranya adalah Ki Bewid dan Nyi Bewid, Ki Sulun dan Nyi Sulun, dan pangeran Dul, merekalah yang menemani Nyi Mas Pakungwati dalam kepergiannya meninggalkan keraton kasepuhan Cirebon. Sedangkan pengikutnya diperintahkan untuk menetap di daerah tersebut, yaitu Kepunduan. Mereka menetap untuk memeberikan ilmu agama Islam kepada masyarakat serta pengembangan perkampungan. Setelah para pengikut Nyi Mas Pakungwati wafat, masyarakat setempat menguburkan jenazah para pengikutnya di areal dekat sungai Cimanggung yang terletak di perbatasan desa Kepunduan dan desa Warugede.

Di Kepunduan terdapat pula dua tokoh masyarakat, yaitu Ki Argasela dan Nyi Supriya yang dikenal dengan nama Nyi Brintik. Kedua tokoh tersebut menurut masyarakat adalah yang mengawali membuka hutan untuk dijadikan pemukiman penduduk. Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggapnya buyut ( moyang ), sehingga setiap tahun diadakan upacara “Ngunjung Buyut”, yaitu ziarah ke Ki Argasela dan Nyi Brintik yang maksudnya mendo’akan para leluhurnya

Matur kesuwun kangge http://saerebon.multiply.com maaf Kang, sebagian ceritane dijukut ning isun, matur kesuwun ya..?

DITERBITKAN DI:  ON AT 8:27 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Sejarah Terbentuknya Desa Tegalgubug

Berdasarkan kronologis sejarah. bahwa terbentuknya Desa Tegalgubug tak lepas dari perjalanan Sejarah masa lampau terbukti dari pendiri Desa Tegalgubug yaitu seorang pengawal Kanjeng Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Salah satu wali kutub dari wali songo. Seorang pengawal/seorang panglima tinggi tersebut bernama Syaikh Muhyiddin Waliyuallah / Syaikh Abdurrohman / Ing Singa Sayakh syayuda atau lebih dikenal dengan Ki Gede Suropati (Mbah Suro).

Sebagaimana kilasan Sejarah dibawah ini:                                  

Setelah perang antara Kerajaan Telaga (kerajaan cikijing,majalengka) dan Kerajaan Galuh (kerajaan Jatiwangi,majalengka) melawan kesultanan Cirebon, kerajaan Telaga dan Galuh dapat ditaklukan, akhirnya masyarakat Telaga memeluk Islam

Kemudian Sunan Gunung Jati dalam penyiaran Agama Islam di Negeri Talaga dan Galuh mengutus beberapa orang Gegeden yang memiliki banyak ilmu dan kesaktian tingggi, untuk memberikan pengawasan terhadap tanah taklukan kesultanan Cirebon, kerana masih ada pepatih yang masih belum memeluk Agama Islam. Diantara Gegede yang diutus itu adalah Syaikh Suropati / Ki Suro. Seorang Gegede yang terkenal sakti mandraguna yang berasal dari Negeri Arab (sumber lain mengatakan dari Mesir dan Baghdad). Yang nama aslinya yaitu Syaikh Muhyiddin Waliyullah / Syaikh Abdurrahman, yang sudah dua tahun tinggal di keraton Cirebon, sabagai santi (murid) Sunan Gunung Jati, lalu setelah dianggap cukup ilmunya oleh Sunan Gunung Jati beliau diutus untuk membantu menyebarkan Ajaran Islam keseluruh pelosok penduduk Jawa Barat, dalam perjalanan penyebaran Ajaran Islam banyak mendapat tanggapan baik dari rakyat, namun tak jarang pula rintangan yang dihadapinya, beliau harus bertanding melawan penggedean pedukuhan tersebut. Namun berkat kesaktian ilmuny ayng mandraguna mereka dapat ditaklukan dan mereka mau memeluk Agama Islam.

Lalu atas jasa dan ilmu kesaktianya, Syaikh Muhyiddin diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pepatih unggulan / panglima tinggi (pengawal Sunan) dinegeri Cirebon dengan gelar Ki Gede Suropati. Setelah pemberian gelar tersebut Kanjeng Sunan memerintahkan Ki Suro bertandak ke pondok Ki Pancawal (seorng pembesar kerajaan talaga) untuk membawakan kitab suci Al-quran yang berjumlah banyak diperuntukan sebagai pedoman di Negeri Talaga dan Galuh. Namun ditengah jalan perjalanan menuju negeri Talaga Ki Suro menemui adegan sayembara merebutkan seorang putrid cantik, barang siapa yang mampu mengalahkan Ki Wadaksi (pembesar kerajaan talaga) akan dijodohkan / dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nyi Mas Wedara, lalu Ki Suro ikut dalam sayembara tersebut Ki Suro hanya ingin mengetahui ilmu yang dimiliki oleh Ki Wadaksi, akhir Ki Suro dapat mengalahkan Ki Wadaksi dan kemudian memeluk Agama Islam bersama-sama muridnya. Tapi Ki Suro tidak menikahi Nyi Mas Wedara, namun Putri Ki Wadaksi tersebut malah diserahkan kepada Raden Palayasa yang sebelunnya mereka saling mencintai.

Kemudian Ki Suro dibawa oleh Ki Pancawala di pondoknya, dan dijamunya dengan jamuan istimewa sambil menyerakan kitab suci Al-quran. Dengan senang hati Ki Pancawala didatangi Ki Suro, namun dalam jamuan itu Ki Suro terpesona melihat putri Ki Pancawala yang bernama Nyi Mas Ratu Antra Wulan, dalam hati Ki Suro punya keninginan untuk menjadikannya pendamping hidupnya. Namun sebelum Ki Suro mengatakan keinginannya untuk meminang Nyi Mas Ratu Antra Wulan, Ki Pancawala sudah mengatakan bahwa putrinya akan diserahkan kepada Sunan Gunung Jati yang diharapkan menjadi Istrinya, dan Ki Suro bersedia untuk mengatarkanya ke keraton Cirebon.

Dalam perjalanan menuju keraton Cirebon, sangatlah panjang dari masuk dan keluar hutan sampai naik dan turun gunung. Dalam suatu perjalanan mereka mendapati sebuah Gubug kecil ditengah-tengah hutan belantara, Ki Suro meminta beristiharat sebentar untuk menghilangkan rasa letihnya. Setelah itu mereka melanjutkan perlajalanannya menuju keraton Cirebon, namun sebelum Ki Suro menlajutkan perjalanan tiba-tiba dikejutkan dengan kedatngan Nyi Mas Rara Anten, yang meminta Nyi Mas Ratu Antra Wulan untuk dijodohkan dengan putranya. Kemudian terjadilah perang tanding yang seru pada akhirnya Nyi Mas Ratu Anten dapat dikalahkan.

Perjalanan dilanjutkan kembali, setelah sampainya di keraton Cirebon, Ki Suro menyerahkan Nyi Mas Ratu Antra Wulan dan menyampaikan amanat Ki Pancawala kepada Sunun Gunung Jati. Namun amanat Ki Pancawal yang menginginkan anaknya menikah dengan Sunan Gunung Jati tidak diterima dengan cara halus, karena Sunan Gunung Jati sesungguhnya telah mengetahui bahwa Ki Suro menyukai Nyi Mas Ratu Antra Wulan. Karena itu Sunan Gunung Jati memerintahkan Ki Suro menikahi Nyi Mas Rtau Antra Wulan.

Setelah Ki Suro dan Nyi Mas Ratu Antra Wulan menjadi suami istri, mereka membangun pedukuhan / perkampungan disebuah tegalan ditengah-tengah hutan yang dahulu terdapat sebuah gubug kecil yang mereka pernah singgahi sewaktu perjalanan dari kerajaan Talaga menuju keraton Cirebon.

Pedukuhan itu atas izin dan restu dari Sunan Gunung Jati, dan diberi nama “Tegal Gubug” yang mana nama tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu :

> Tegal artinya : Tanah yang dicangkul untuk ditanami

> Gubug artinya : Rumah kecil yang terbuat dari bambu dan atapnya dari daun tebu

> Tegal gubug : Sebuah rumah kecil yang sangat sederhana terbuat dari bamboo, yang sekitarnya terdapat tegalan (galengan) yang siap ditanami.

Peristiwa terbentuknya nama Tegal Gubug ini terjadi sekitar 1489 M. [ Sekitar akhir abad ke 15 ] pada saat kesultanan Cirebon dipimpin oleh kanjeng Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Yang merupakan salah satu Wali dari Walisongo, yang dituahkan ilmunya oleh Rekan-rekannya.

Setelah terbentuk sebuah nama pedukuhan / perkampungan Tegal Gubug, kemudian Ki Suro melanjutkan misinya untuk terus menyebarkan Ajaran Islam. Terbukti dengan pesatnya Agama Islam disekitar Masyaratnya, yang ketika itu masih mempercayai (menganut, menyembah) Agama Nenek moyangnya yaitu : Animisme (aliran/kepercayaan terhadap benda) dan Dinamisme (aliran/kepercayaan terhadap Roh) dan Hindu, Budha.

Narasumber :

1. KH. Rohmatullah

2. K. Miftah (mang tak Alm)

3. Ust Imron Rosyadi Syakur

4. K. Haris Zen

5. Ust Fikriyan (Sejarawan Tegalgubug)

6. Masduki Sarpin (Pakar Sejarah Cirebon)

kesuwun kanggo http://baydie.wordpress.com sing wis tak jukut tulisane…matur kesuwun, Kang…!

DITERBITKAN DI:  ON AT 4:31 AM KOMENTAR (10) 

Asal usul Desa Geyongan

Nama tempat pada umumnya diambil dari suatu peristiwa / kejadian atau nama orang yang fenomenal yang terjadi di tempat itu dan oleh orang kejadian itu biasanya dijadikan nama tempat untuk mengenang peristiwa atau nama seseorang tersebut.

 

Cerita sejarah ini berawal dari seorang sarjana Panama yang sedang melakukan penelitian tentang kebudayaan Cirebon dan lagi berkunjung ke Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati untuk pengumpulan data dan informasi sebagai bahan penulisan Tesisnya. Komplek pemakamam Sunan Gunung Jati adalah tempat makam dimana Sunan Gunung Jati dan Keturunannya (Sultan-Sultan Cirebon) dan para pembantunnya/Ki Gede disemayamkan.

 

Setelah sekian lama dia berkeliling di komplek pemakaman tersebut dia tertarik pada salah satu makam yang baginya agak ganjil dimana pada batu nisan makam tersebut tidak diberi nama indentitas dibandingkan dengan yang makam lainnya, maka bertanyalah si sarjana tersebut kepada pemandu atau yang biasa disebut Jeneng ” Ini makamnya Siapa ? ” Si pemandu tidak bisa menjawab padahal dia mengetahui jawabannya, kemudia jeneng menyarankan agar bertanya saja pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Cirebon. Pada keesokan harinya sarjana tersebut bertandang ke Kantor Dinas P dan K kota Cirebon menanyakan perihal makam yang tidak punya nama itu di Komplek pemakaman Sunan Gunung Jati, di Kantor Dinas P dan K ia juga tidak mendapatkan jawaban yang jelas dan memuaskan kemudian Dinas P dan K Kota Cirebon menyarankan agar bertanya pada para orang tua Desa Geyongan. Maka berangkatlah Ia ke Desa Geyongan dan bertemu dengan Bapak H. Markina dan inilah ceritanya selengkapnya.

 

Sahdan yang punya cerita disuatu malam didalam salah satu keraton Kesultanan Cirebon sedang mengadakan acara kesenian Tayuban atau sejenisnya yang dihadiri Sultan dan para pembantunya serta tidak ketinggalan para penari tayub (ronggeng), konon penari tayub itu diambil dari beberapa desa/pedukuhan terpilih tentu dengan persyaratan sangat ketat sudah barang tentu harus cantik, bahenol, pinter menari dan menyanyi pelog. Sudah merupakan tradisi kraton jaman dulu, keraton selalu mengadakan acara kesenian tayuban untuk menyenangkan hati Sultan dan pembesar keraton, sampai sekarang para penabuh gamelan hingga keturunannya selalu setia terhadap Sultan Cirebon.

 

Pada malam itu Sultan kelihat muram dan tidak semangat untuk melihat dan menari entah apa yang beliau pikirkan, maka bertanyalah si Sultan pada Tumenggung kepercayaannya ” Ehh .. tumenggung kenapa si Anu itu tidak datang ? Tumenggung terdiam tidak bisa menjawab . Sudah sebulan dia tidak lagi menemaniku untuk menayub sergahnya . Matur tulung Sinuhun , saya juga tidak mengetahui kedaannya, jawabnya jawab Tumenggung”, yah sudah kalau begitu saya utus kamu untuk mencari tahu tentang keberadaan si Anu, kata Sultan. Si anu itu adalah seorang penari tayub konon merupakan kesayangan Sultan, yang mempunyai paras cantik berasal dari pedukuhan anu (red : sekarang Desa Geyongan), waktu itu pedukuhan geyongan sudah ramai dan banyak penduduknya (link : cerita Sejarah Desa Geyongan). Keberadaan si Anu dan identitasnya hingga saat ini masih sangat misteri belum ada yang mengetahuinya, siapa gerangan ?

 

Singkat cerita Tumenggung itu berangkat ke Desa Geyongan untuk mencari tahu keadaan si penari tayub itu dengan berkendaraan kuda melewati jalan yang ada sekarang (dremaga lor). Setelah sampai di pedukuhan Geyongan si Tumenggung tadi tidak langsung menuju ke tempat si Nyai penari tapi mampir dulu beristirahat untuk melepaskan lelah setelah menempuh perjalan jauh dari Cirebon ke Geyongan di sebuah belik untuk memberi minum kuda sekalian minum atau sekedar cuci muka dan kaki. Belik itu adalah sumber mata air (tuk : bhs Cirebon) yang oleh orang dibuat kolam atau sumur dan dipergunakan orang untuk keperluan mandi dan sumber air minum biasanya letaknya ditepi jalan (toang) atau sawah. Keberadaan belik saat ini masih baik dan masih dipergunakan oleh masyarakat untuk mandi dan air minum, terletak di blok Kidas Desa Kebonturi yang merupakan peninggalan pedukuhan Kidas dan tidak jauh dari Simpang Tiga Jenun – Geyongan Kec. Arjawinangun.

 

Kebetulan waktu itu masih agak siang, jadi tidak ada salahnya untuk beristirahat (Ngaso bhs jawanya) pikir tumenggung. Sebelum ngaso si Tumenggung memotong bambu, waktu itu disekitar belik masih banyak bambu untuk dibuat semacam ayunan. Tanpa disadari setelah sekian lama berayunan terasa kantuk menghinggapi si Tumenggung. Gelise wong crita bobade wong kanda “ maka tertidurlah si Tumenggung tadi diatas ayunan sampai sore hari “, yah pantes saja dia tertidur selain kondisi dia lagi cape keadaan di belik juga mendukung sudah udaranya segar juga hembusan anginnya yang semliwir (sepoi-sepoi) siapapun orangnya pasti akan ngatuk dan tertidur. Menjelang waktu asyar ” gragap ” terbangunlah ia dan dengan tergopoh-gopoh menaiki kuda menuju ke rumah si Nyai penari di pedukuhan geyongan.

 

Singkat kata sampailah ia di rumah si Nyai penari, kedatangannya disambut dengan sopan dan senyuman manis sebagimana gadis desa yang lugu menyambut para pembesar dari keraton, langsung dia dihidangi air putih dan rebusan Boled (Ubi jalar) dan Campu (Umbi Batang/Singkong). Mangga gusti kula suwunakan mlebet teng gubuk kula ( silahlakan gusti untuk masuk ke rumah saya) kata si penari, tumben gusti mboten pranti-pranti nyambangi griya kula apa wenten wigatos sing sanget, timpal si Nyai penari. Begini Nyai sergah si Tumenggung, saya diutus oleh Kanjeng Gusti Sinuhun Sultan untuk mencari tahu keadaan Nyai, karena sudah sebulan Nyai tidak sambang ke Keraton untuk penari. Memang ada apa Nyai ? tanya si Tumenggung. Si Nyai cuma hanya bisa diam tidak bisa menjawab sekatapun, wajahnya tertunduk malu raut muka penuh rasa takut dan khawatir maklumlah gadis desa berbicara dengan penggede keraton. Lama sudah Tumenggung menanti jawaban si Nyai tapi Nyai tetap tidak bisa bicara sekatapun, maka bertanyalah lagi “ Ada apa Nyai ? bicarah Nyai sejujurnya “. Si Nyai tetap juga tidak bisa menjawab cuma bisa menjawab dengan bahasa isyarat yaitu dengan mengelus-elus perutnya yang sedang membesar itu. Sasmitane Tumenggung mengertilah apa yang diisyaratkan oleh Nyai , baiklah Nyai sekarang aku baru mengerti jawabanmu. Setelah sekian lama berada di rumah Nyai Penari berbicara ngalor-ngidul, menjelang sore wayah surup pulanglah Tumenggung tadi ke Cirebon dengan berpesan pada Nyai agar selalu menjaga kesehatan dan menjaga kandungannya.

 

Singkat cerita sampailah si Tumenggung di keraton Cirebon dan langsung melapor hasil perjalanannya mengunjungi si Nyai Penari itu, dengan tergopoh-gopoh laporlah ia ke Sultan . Sebelum sempat bicara melaporkan diri , Jumeneng Sultan langsung bertanya , “ Tumenggung kenapa kamu lama sekali baru menghadap saya, apa pedukuhan itu jauh sekali ? “ sergah Kanjeng Sultan “ . Matur Kanjeng Sultan kalau jauh sih tidak yah kurang lebih 2 jam perjalanan naik kuda letaknya sebelah utara dari tempatnya Ki Gede Palimanan, tempat itu belum ada namanya Kanjeng Sultan “ jawab Tumenggung. Iya… menurut hitungan saya kamu lama sekali datang melapor , sampai malam begini, kemana saja kamu ? Nganclong kemana ….. “ hardik Kanjeng Sultan. Aduh Kanjeng Sultan, pangapunten sing agunge pangapura kula, sebenernya saya tidak nganclong kemana-mana saya tadi tertidur sewaktu istirahat di Belikan hingga sore hari baru saya terbangun. Loh.. koh bisa tertidur memangnya kenapa ? Maaf Kanjeng Sultan, waktu di tempat itu saya membikin Ayunan dari bambu untuk duduk sambil istirahat tak terasa saya teridur, timpal Tumenggung. Ohh…. begitu ceritanya, baiklah kalau begitu karena pedukuhan itu belum punya nama maka tempat itu saya namakan Geyongan, sejak saat itulah pedukuhan itu dinamakan Geyongan hingga saat ini. Kata Geyongan sendiri diambil dari kata Ayunan padanan kata Geyongan. Adapun makna kata Geyongan adalah suatu alat yang terbikin dari kain atau bahan lainnya yang diikat dengan tali dan digantung biasanya digukanan untuk menidurkan bayi/anak, alat itu sudah sangat lajim digunakan masyarakat Cirebon.

 

Melanjutkan cerita tadi… terus bagaimana keadaan Nyai, Tumenggung ? tanya Kanjeng Sultan lagi. Begini Kanjeng Sultan, sebelumnya saya minta maaf barangkali laporan saya ini lancang dan pamali . Sebenarnya Nyai tidak sakit atau tidak kurang apapun semuanya sehat, Kanjeng .. , ayo teruskan laporanmu sergah Kanjeng Sultan penasaran. Ternyata setelah saya tanya dan lihat, Nyai saat ini sedang mengandung/hamil. Terkejutlah wajah Sri Sultan mendengar laporan itu, baiklah kalau begitu saya mengerti apa yang harus saya lakukan, Tumenggung untuk itu saya tugaskan kembali kepadamu untuk selalu mengawasi dan menjaga keadaan Nyai penuhi kebutuhan hidupnya jaga kesehatannya dan jaga keamanannya, perintah Kanjeng Sultan. Sumangga derek dawuh Kanjeng, timpal Tumenggung. Sejak saat itulah Nyai penari menjadi tanggungjawab dan pengawasan Tumenggung sampai melahirkan.

 

Delapan bulan kemudian si Nyai melahirkan jabang bayi perempuan di pedukuhan Geyongan, karena kehendak Allah. SWT bayi tersebut tidak panjang umur meninggal dunia sewaktu masih bayi dan dikubur/disemayamkan di pekuburan Desa Geyongan serta petilasannya juga dibuat di komplek pemakaman Sunan Gunung Jati. Karena beliau masih keturunan Sultan Cirebon oleh Sultan diberi gelar Nyi Ratu, sehubungan dia meninggal dan disemayamkan di Geyongan orang menyebutnya atau dijuluki Nyi Ratu Geyongan dan dihormati sebagai Ki Buyutan karena diduga mempunyai kharomah dan keramat. Saat ini makam Nyi Ratu Geyongan pada malam-malam tertentu terutama pada sore dan malam Jum’at banyak dijiarahi orang, sekedar untuk berdoa dan haulan bahkan dijadikan tempat menyepi/sunyaragi untuk mendapatkan kharomah dari-Nya.

Demikian cerita asal usul nama Geyongan, kepada semua pihak terlepas dari tidak atau validnya cerita ini saya mohon maaf. Tujuan saya menulis ini hanya sekedar menyambung lidah lewat tulisan dari cerita yang beredar di masyarakat, saya menyadari kelemahan bangsa ini bahwa kebanyakan suatu kejadian atau peristiwa tidak terdokumentasikan dengan baik.

 

Matur kesuwun sanget kanggo http://desageyongan.blogspot.comtulisane sampun kula bakta teng mriki, Kang…

DITERBITKAN DI:  ON AT 4:01 AM TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR 

Intro

Turun sintrén, sintréné widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembangé si Jaya Indra
Widadari temurunan
Kang manjing ning awak ira

Turun-turun sintrén
Sintrené widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembangé si Jaya Indra
Widadari temurunan

Kembang katés gandul
Pinggiré kembang kenanga
Kembang katés gandul
Pinggiré kembang kenanga
Arep ngalor arep ngidul
Wis mana gagéya lunga

Kembang kenanga
Pinggiré kembang melati
Kembang kenanga
Pinggiré kembang melati
Wis mana gagéya lunga
Aja gawé lara ati

Kembang jaé laos
Lempuyang kembangé kuning
Kembang jaé laos
Lempuyang kembangé kuning
Ari balik gagé elos
Sukiki menéya maning

Kembang kilaras
Ditandur tengaé alas
Paman-bibi aja maras
Dalang sintrén jaluk waras

1 komentar:

  1. wah keren kang info2 tentang cirebonya neh!!
    ane ijin ngambil sebagian tulisanya yaaa buat tugas kuliah ane!!
    kesuwun kang!!!
    salam kenal kang sing wong cerbon kih!!

    BalasHapus